1. Agama
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa Agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia dengan lingkungannya.
Sedangkan menurut Clifford Geertz, bahwa agama merupakan sistem budaya, yang dipengaruhi oleh berbagai proses perubahan sosial dan dengan sendirinya berbagai proses perubahan sosial itu mampu mempengruhi sistem budaya.
Pengertian yang lain mengenai agama, Agama adalah aturan dari Tuhan Yang Maha Esa, untuk petunjuk kepada manusia agar dapat selamat dan sejahtera atau bahagia hidupnya di dunia dan akhirat dengan petunjuk-petunjuk serta pekerjaan nabi-nabi beserta kitab-kitabNya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa agama adalah sebuah ajaran dimana di dalamnya terdapat sebuah aturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia ghaib, khususnya Tuhannya (ibadah), mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur manusia dengan lingkungannya.
Sebuah agama atau kepercayaan yang merupakan sebagai pedoman hidup manusia dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari sangat sulit untuk mereka lepaskan atau tinggalkan. Apalagi sebuah kepercayaan yang sudah melekat dalam diri dan turun menurun dari zaman nenek moyang mereka.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Geertz yang tertulis di dalam bukunya Bassam Tibi, bahwa agama adalah “suatu sistem simbol yang bertindak untuk menetapkan dorongan hati dan motivasi yang kuat, menembus, dan bertahan lama pada manusia dengan cara memformulasikan berbagai konsep tentang suatu tatanan umum dari yang hidup dan mewarnai konsep-konsep ini dengan nilai-nilai faktualitas sehingga (dorongan hati dan motivasi itu tampak sangat realistik).”
2. Kebudayaan
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
3. Hubungan Agama dan Kebudayaan dengan Misi Kerasulan Muhammad SAW
Di dalam Al-Qur’an Surat Al Anbiyaa’: 107 telah dijelaskan bahwa yang artinya:
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam."
Ayat di atas telah jelas menerangkan bahwa sesunggunya Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia ini adalah membawa rahmat bagi seluruh semesta alam. Tidak hanya manusia, bahkan hewan dan tumbuhan pun mendapatkan rahmatnya.
Misi kerasulan atau risalah Muhammad adalah meng-Esakan Allah SWT dan tidak ada sekutu baginya. Risalah yang berarti tugas kerasulan untuk menyampaikan ajaran Allah SWT. berupa wahyu kepada manusia.
Islam datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia”.
Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :
Pertama: Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam kaidah fiqih disebutkan : “al adatu muhakkamatun“ artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syariat, seperti; kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu syah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil “al adatu muhakkamatun“ karena nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.
Kedua: Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam, kemudian di “rekonstruksi” sehingga menjadi Islami. Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti lafadh “talbiyah” yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “Ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Ketiga: Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Seperti, budaya “ngaben“ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar, karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yang meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai budaya “Tumpeng Rosulan”, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan selatan (Samudra Hindia).
Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal dunia.
Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar madzhab hanafi mengatakan : “Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat daripada tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa kebatilan yang telah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat kita hari ini, yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di kuburan khusus pada malam- malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti ke-autentikannya, maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena tradisi, hanyalah mengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash syare’at mengikat manusia secara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan juga, karena tradisi dibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana yang tersebut dalam hadits: “apa yang dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu baik”.
Dari situ, jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh Dr. Abdul Hadi WM, dosen di Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, Jakarta, bahwa Islam tidak boleh memusuhi atau merombak kultur lokal, tapi harus memposisikannya sebagai ayat-ayat Tuhan di dunia ini atau fikih tidak memadai untuk memahami seni, adalah tidak benar. Wallahu a’lam
Sumber Referensi
• Tim Penyusun Kamus Pusbinsa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993
• Bassam Tibi, Islam Kebudayaan dan perubahan Sosial, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1999
• Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al Ma'arif, Bandung, 1989
• Bryan S. Turner, Agama dan Teori Sosial, IRCiSoD, Yogyakarta, 2006
• http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
No comments:
Post a Comment