Sunday, March 18, 2012

PENDAPAT IMAM AL-GAZALI TENTANG RUH

Hujjatul Islam Imam al-Gazali, telah mengarang berpuluh-puluh kitab, yang terpenting dan termasyhur ialah kitab yang berjudul Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Dalam kitabnya tersebutbeliau menerangkan tentang ruh, saya kutip berikut ini:

Ruh mempunya dua pengertian, yaitu bersifat jasmani dan ruhani. Menurut pengertian jasmani, ruh dalah bagian dari tubuh manusia, yaitu zat yang amat halus bersumber dari dalam rongga hati (jantung) menjadi pusat dari semua urat (pembuluh darah) yang terserak ke seluruh tubuh manusia. Sehingga karenanya manusia dapat hidup dan bergerak, dapat merasakan berbagai rasa, baik pahit maupun manis, dan mengalami banyak perasaan, seperti senang, susah, haus, atau lapar. Dengan mata dapat melihat, dengan telingan dapat mendengar, dengan hidung dapat mencium, dengan otak dapat berfikir, dengan tangan dapat menggenggam, mengangkat atau menggapai, dan dengan kaki dapat melangkah.

Ruh menurut pengertian yang pertama ini, tidak ubahnya seperti lampu yang menerangi sebuah kamar. Ruh menurut pengertian ini adalah merupakan suatu gas yang halus yang digerakkan oleh hawa nafsu (udara) yang ada di dalam jantung. Ruh pengertian yang pertama inilah seringkali disebutkan oleh para dokter dengan sebutan jiwa.

Adapun ruh dan jiwa menurut pengertian yang kedua, tidaklah termasuk dari bagian jasmani manusia, tetapi termasuk dari bagian ruhani manusia, yaitu bagian yang halus dan gaib. Dan dengan ruh menurut pengertian kedua inilah manusia dapat mengenal dirinya sendiri dan Tuhannya, juga dapat mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, dapat pula berperikemanusiaan, berakhlak yang baik dan mulia yang berbeda dengan binatang.

Ruh menurut pengertian kedua ini pula yang menerima pujian atau celaan dari agama. Ruh menurut pengertian kedua inilah yang dapat menerima perintah dan larangan dari Allah SWT. Dan ruh inilah yang bertanggung jawab atas gerak-gerik hati, tingkah laku, serta perbuatan-perbuatan. Ruh pula yang memegang komando dalam seluruh aktivitas kehidupan manusia.


Selanjutnya Imam Ghazali berpendapat, ruh itu bukan jisim atau ‘arad, bukan pula sesuatu yang melekat pada hal yang lain, seperti melekatnya sifat pada yang disifati atau seperti melekatnya putih pada kertas, warna biru pada laut, ataupun ilmu pengetahuan pada ahli ilmu pengetahuan. Tetapi ruh adalah jauhar (substansi), yaitu sesuatu yang berwujud dan berdiri sendiri. Dalam hal ini ada kesamaan dengan pendapat Socrates, bahwa ruh mempunyai kesadaran sendiri, sadar dengan dirinya, sekelilingnya, lingkungannnya, Tuhan yang meciptakannya, dan sadar akan lainnya.

Ruh adalah baru (hadis), sesuatu yang mulanya tidak ada, lalu diciptakan oleh Allah SWT (berbeda dengan pendapat Socrates yang mengatakan bahwa ruh manusia itu dalah azali atau sudah ada sebelum adanya tubuh).

Hakikat ruh tidak dapat diketahui oleh manusia dan tidak dapat diukur, serta tidak dapat dianalisa. Ruh tidak tergantung pada tempat, karena tanpa tempat pun, ruh tetap ada dan tetap hidup.

Ruh ketika berada dalam tubuh, tidak sama dengan keberadaan air dalam gelas. Bukan pula seperti bejana ilmu pada ahli ilmu pengetahuan. Bukan pula seperti melekatnya warna biru pada laut. Bila gelas tersebut pecah, maka air yang di dalamnya akan tumpah, dan bila seorang ahli ilmu pengetahuan meninggal dunia, maka ilmunya akan lenyap, juga bila air laut kering, maka warna biru yang dipantulkan akan sirna.

Ruh bukanlah hal yang demikian. Apabila seseorang manusia meninggal dunia atau apabila tubuh manusia itu hancur, maka ruhnya tetap utuh, tidak kurang suatu apapun. Hanya Allah SWT saja yang mengetahui keadaan dan hakikatm ruh. Ruh merupakan rahasia Allah SWT. Ruh tidak dapat diketahui atau dipelajari oleh siapapun, sekalipun oleh para nabi dan rasul. Firman Allah:
               
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Q.S. Al-Isra’: 85)


Berdasarkan ayat tersebut, maka Imam Ghazali melarang orang-orang untuk menyelidiki dan memikirkan hakikat ruh. Sebab hal itu tidak dapat diselidiki oleh manusia untuk selamanya-lamanya. Tetapi, apabila bersikeras dilakukan, hanya akan membawa kesesatan dan perdebatan saja. Dan karena itu pula Nabi Muhammad SAW sendiri tidak diperbolehkan oleh Allah SWT untuk menerangkannya.

Dan apa yang kita bicarakan di sini mengenai ruh dan alam gaib lainnya, menurut Imam Ghazali hanyalah sekadar apa-apa yang telah difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur’an serta apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam hadist-hadistnya.

Kita mengungkap mengenai ruh, hanyalah untuk mengetahui ihwalnya dan bukan tentang hakikat ruh tersebut. Kita melihat dari sudut pandang para ahli filsafat dan ahli agama, terutama agama Islam, tentnag ruh kita ketengahkan untuk memperoleh gambaran agar diri kita sebagai Muslim, sampai pada pengertian bahwa diri kita sebagai ‘pengenal’, dan Allah SWT sebagai ‘Yang Maha Dikenal’ untuk menyempurnakan ibadah dan untuk memperoleh pengertian yang paling mendekati kebenaran. Hal itu kita tempuh bila kita belum memperoleh makrifat atau tersingkapnya tirai (kasyf), maka pengertian tersebut menjadi sangat penting untuk kesempurnaan ibadah kita dalam menyembah-Nya. Kita sadari bahwa menyembah (salat) merupakan ibadah yang utama.

Pada suatu sisi––masalah jiwa (ruh) manusia––sukar untuk dipahami. Dan pengetahuan tentang ruh sangat sedikit diberikan oleh Allah SWT. Akan tetapi pada sisi lain, jiwa (ruh) atau yang dibenut ‘diri manusia’ harus dikenal. Karena tanpa mengenal diri amat sulit untuk dapat mengenal Tuhan. Sedangkan mengenal Tuhan adalah pokok ajaran agama Islam. Tanpa mengenal Tuhan, bagaimana mungkin kita dapat menyembah-Nya.

Perlu disadari bahwa ruh manusialah yang akan bertanggungjawab pada Allah SWT atas segala perbuatan selama ia hidup di dunia. Diri manusia (ruh) itulahh yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyembah-Nya, dan ruh inilah yang dimaksud agar senantiasa bersih lagi suci demi berkhidmat pada-Nya. Firman Allah SWT:
    
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, (Q.S. Asy-Syams: 9)


Nah, bagaimana kita dapat membersihkan jiwa, kalau kita sendiri belum memahami segala hal yang menyangkut jiwa. Karena itu, dengan mengenal diri, mengenal yang menjadikan diri, atau mengenal Yang Menjadikan alam semesta, merupakan ilmu yang fardu ‘ain.

Dikutip dari buku berjudul “Rahasia Hati, Pikiran, & Perilaku Muslim Kaffah”
Oleh: Rizal Ibrahim
Tahun: 2009

Silahkan tinggalkan komentar anda demi kesempurnaan Blog ini. Terima kasih

No comments:

Post a Comment

Sahabat Ku