Socrates berpendapat bahwa ruh atau jiwa tidak dapat dilihat karena bukan merupakan benda, atau sesuatu yang berdiri atas benda, seperti warna karena dia bukan benda maka ruh tidak tersusun dari beberapa unsur. Karenanya ruh adalah simpel, tidak berubah, dan tidak dapat rusak. Setiap benda selalu berubah dan dapat menjadi rusak, karena terdiri dari berbagai unsur. Dan ruh itu kekal adanya, tidak sepert benda.
Ruh di badan berdiri sebagai raja, memerintah, sedangkan badan diperintah. Ruh suatu yang mulia dan berderajat tinggi, sedangkan badan suatu yang rendah dan hina. Ruh mempunyai sifat-sifat ketuhanan, tidak dapat lenyap atau rusak, sekalipun sudah bercerai dengan badan. Hanya badanlah yang dapat rusak bila bercerai dengan ruh.
Saat manusia mati, badannya rusak dan hancur, sedangkan keadaan ruhnya tetap utuh, tak kurang suatu apa pun, dan tetap mempunyai pengertian dan kesadaran, mengalami kesenangan dan kemerdekaan, atau kesengsaraan dan penderitaan, semuanya bergantung pada keadaannya ketika hidup bersama badan. Bila hidup manusia bergelimangan dengan dosa, kekejian, dan kejahatan, tidak memikirkan selain makan, minum dan tuntutan syahwat jasmani saja, maka setelah berpisah dengan badan, ruhnya tak dapat menempati tempat bahagia, keadaannya susah, selalu dalam penderitaan dan penyesalan yang berkepanjangan.
Adapun ruh-ruh yang mulia, yang semasa hidupnya bersih dari dosa-dosa, kesalahan, dan kejahatan, maka ruh yang seperti itu terus menuju ke alam yang tinggi, yang dinamai oleh Socrates sebagai “Illahi”. Keyakinan Socrates pada pendapatnya itu telah membawanya pada hukuman mati.
Ketika Socrates sudah dekat menjalani hukuman mati, dikarenakan pendapatnya telah menjadi kepercayaan umum dan Socrates dituduh sebagai pengacau Negara, salah seorang muridnya berhasil memberikan jalan bagi Socrates untuk melarikan diri dari penjara, untuk menghindari hukuman itu. Pertolongan itu ditolak mentah-mentah oleh Socrates, karena melarikan diri dianggapnya suatu perbuatan penakut dan hina.
Socrates tetap bersedia menjalani hukuman mati dengan minum racun. Hukuman itu dijalankan Socrates dengan tersenyum, karena dia yakin dengan pendapatnya bahwa sekalipun dia mati ruhnya akan tetap hidup dalam keadaan terhotmat dan bahagia.
Sudah nyata bahwa ruh itu sumber hidup. Sebab ruh itu adalah kata-kata hidup itu sendiri, maka ia tak dapat menerima lawannya yaitu mati. Adanya keadilan tak dapat menerima kezaliman. Adanya persamaan tak dapat menerima perbedaan. Adapun ruh sama dengan pengertian-pengertian itu, yaitu tidak dapat menerimaadanya lawan baginya.
Ruh itu tidak kenal mati, tidak dapat lenyap, dan kekal selama-lamanya. Kalau dikatakan mati adalah akhir dari tiap sesuatu, maka itu adalah keuntungan besar bagi penjahat-penjahat dan orang-orang yang teraniaya. Itu adalah filsafat kaum penjahat dan pembunuh, hal itu bertentangan dengan akal dan kainsyafan.
Jauh sebelum turunnya masa turunnya Al Qur’an, berselang hamper seribu tahun, Socrates telah menemukan dirinya, hasil dari jangkauannya berfikir, jauh menembus cakrawala hingga sampa ke alam keesaan Tuhan.
Descartes, filsuf Abad Pertengahan berkebangsaan Prancis, berpendapat bahwa ruh dan jasad adalah dua substansi yang masing-masing pada wujudnya dan masing-masing dengan wujudnya sendiri. Dua wujud yang masing-masing tidak menjadi bagian dari yang lainnya.
Sekalipun ruh tu terdapat di tubuh manusia, tapir ruh dan tubuh tidak menjadi satu, karena masing-masing berlainan dan berbeda sifat asal kejadiannya. Keduanya tidak mungin menjadi satu. Tubuh membutuhkan ruh karena ruhlah yang memberikan kehidupan bagi tubuh.
Akan tetapi ruh sendiri tidaklah membutuhkan tubuh. Tanpa tubuh ruh dapat hidup. Sebab itu ruh lebih penting dan lebih kuasa dari tubuh, karena yang menyebabkan tubuh menjadi hidup adalah ruh, maka mustahil ruh itu dapat mati.
Jadi dalam tubuh manusia ada dua unsur yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu ruh dan tubuh. Oleh sebab itu manusia adalah makhluk yang dualistis, ini dilihat dari unsurnya juga sifat tabiatnya. Demikianlah pendapat Descartes.
Dikutip dari buku berjudul “Rahasia Hati, Pikiran, & Perilaku Muslim Kaffah”
Oleh: Rizal Ibrahim
Tahun: 2009
Ruh di badan berdiri sebagai raja, memerintah, sedangkan badan diperintah. Ruh suatu yang mulia dan berderajat tinggi, sedangkan badan suatu yang rendah dan hina. Ruh mempunyai sifat-sifat ketuhanan, tidak dapat lenyap atau rusak, sekalipun sudah bercerai dengan badan. Hanya badanlah yang dapat rusak bila bercerai dengan ruh.
Saat manusia mati, badannya rusak dan hancur, sedangkan keadaan ruhnya tetap utuh, tak kurang suatu apa pun, dan tetap mempunyai pengertian dan kesadaran, mengalami kesenangan dan kemerdekaan, atau kesengsaraan dan penderitaan, semuanya bergantung pada keadaannya ketika hidup bersama badan. Bila hidup manusia bergelimangan dengan dosa, kekejian, dan kejahatan, tidak memikirkan selain makan, minum dan tuntutan syahwat jasmani saja, maka setelah berpisah dengan badan, ruhnya tak dapat menempati tempat bahagia, keadaannya susah, selalu dalam penderitaan dan penyesalan yang berkepanjangan.
Adapun ruh-ruh yang mulia, yang semasa hidupnya bersih dari dosa-dosa, kesalahan, dan kejahatan, maka ruh yang seperti itu terus menuju ke alam yang tinggi, yang dinamai oleh Socrates sebagai “Illahi”. Keyakinan Socrates pada pendapatnya itu telah membawanya pada hukuman mati.
Ketika Socrates sudah dekat menjalani hukuman mati, dikarenakan pendapatnya telah menjadi kepercayaan umum dan Socrates dituduh sebagai pengacau Negara, salah seorang muridnya berhasil memberikan jalan bagi Socrates untuk melarikan diri dari penjara, untuk menghindari hukuman itu. Pertolongan itu ditolak mentah-mentah oleh Socrates, karena melarikan diri dianggapnya suatu perbuatan penakut dan hina.
Socrates tetap bersedia menjalani hukuman mati dengan minum racun. Hukuman itu dijalankan Socrates dengan tersenyum, karena dia yakin dengan pendapatnya bahwa sekalipun dia mati ruhnya akan tetap hidup dalam keadaan terhotmat dan bahagia.
Sudah nyata bahwa ruh itu sumber hidup. Sebab ruh itu adalah kata-kata hidup itu sendiri, maka ia tak dapat menerima lawannya yaitu mati. Adanya keadilan tak dapat menerima kezaliman. Adanya persamaan tak dapat menerima perbedaan. Adapun ruh sama dengan pengertian-pengertian itu, yaitu tidak dapat menerimaadanya lawan baginya.
Ruh itu tidak kenal mati, tidak dapat lenyap, dan kekal selama-lamanya. Kalau dikatakan mati adalah akhir dari tiap sesuatu, maka itu adalah keuntungan besar bagi penjahat-penjahat dan orang-orang yang teraniaya. Itu adalah filsafat kaum penjahat dan pembunuh, hal itu bertentangan dengan akal dan kainsyafan.
Jauh sebelum turunnya masa turunnya Al Qur’an, berselang hamper seribu tahun, Socrates telah menemukan dirinya, hasil dari jangkauannya berfikir, jauh menembus cakrawala hingga sampa ke alam keesaan Tuhan.
Descartes, filsuf Abad Pertengahan berkebangsaan Prancis, berpendapat bahwa ruh dan jasad adalah dua substansi yang masing-masing pada wujudnya dan masing-masing dengan wujudnya sendiri. Dua wujud yang masing-masing tidak menjadi bagian dari yang lainnya.
Sekalipun ruh tu terdapat di tubuh manusia, tapir ruh dan tubuh tidak menjadi satu, karena masing-masing berlainan dan berbeda sifat asal kejadiannya. Keduanya tidak mungin menjadi satu. Tubuh membutuhkan ruh karena ruhlah yang memberikan kehidupan bagi tubuh.
Akan tetapi ruh sendiri tidaklah membutuhkan tubuh. Tanpa tubuh ruh dapat hidup. Sebab itu ruh lebih penting dan lebih kuasa dari tubuh, karena yang menyebabkan tubuh menjadi hidup adalah ruh, maka mustahil ruh itu dapat mati.
Jadi dalam tubuh manusia ada dua unsur yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu ruh dan tubuh. Oleh sebab itu manusia adalah makhluk yang dualistis, ini dilihat dari unsurnya juga sifat tabiatnya. Demikianlah pendapat Descartes.
Dikutip dari buku berjudul “Rahasia Hati, Pikiran, & Perilaku Muslim Kaffah”
Oleh: Rizal Ibrahim
Tahun: 2009
No comments:
Post a Comment