Thursday, December 23, 2010

SAATNYA PESANTREN MENG-INTELEK-KAN SANTRI

KH. HASYIM MUZADI

Wawancara

Pesantren punya jasa besar kepada bangsa Indonesia, utamanya dalam dunia pendidikan keislaman. Sistem pendidikan pesantren yang menekankan pembangunan karakter santri secara efektif menumbuhkan pribadi-pribadi tangguh yang siap berjuang mendidik umat meski tanpa sokongan pemerintah.

Hal ini, menurut KH Hasyim Muzadi, ketua umum PBNU, karena dunia pesantren tidak semata mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan semangat hidup. Dalam pandangan Hasyim, di era modern ini, seorang santri memang harus memiliki tekad, skill , dan kemampuan hidup mandiri. Melihat tantangan ke depan yang semakin berat, perlu dilakukan pembaruan konsep dan strategi untuk meningkatkan kualitas pendidikan pesantren. Hal itu disampaikan KH Hasyim Muzadi kepada Heri Ruslan dan Ali Rido dari Republika dalam wawancara menjelang peresmian Pesantren Al-Hikam II. Seperti apa pembaruan yang ditawarkan Kiai Hasyim? Berikut petikannya.

Sebenarnya, pendidikan macam apa yang ditawarkan pesantren?


Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam khas Indonesia. Islam itu kan agama universal, tetapi aplikasinya disesuaikan dengan konteks Indonesia, disesuaikan dengan budaya Indonesia. Sehingga, dapat diterima dengan enak oleh masyarakat. Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menyajikan semangat kehidupan. Hubungan antara pengasuh dan santri mendominasi separuh masalah, yang separuh lagi keilmuan. Seorang pengasuh pesantren melihat santri sebagai anak. Kalau melihat santri sebagai murid, hubungannya adalah keilmuan. Tapi, kalau melihat mereka sebagai anak, hubungannya adalah kehidupan. Ini berpengaruh besar pada hubungan kedua pihak. Misalnya, kalau santri mau menikah atau menyunatkan anaknya, ia masih mau bertanya kepada kiai. Mereka merasa kiai itu bapaknya, bukan gurunya. Kiai tidak hanya menurunkan pengetahuan, tetapi juga menanamkan pemahaman tentang kehidupan.

Bagaimana strategi pesantren mengakulturasikan budaya dengan ajaran Islam?

Budaya Indonesia kalau dilihat dari kacamata Islam itu ada tiga kategori. Ada budaya yang memang sudah selaras dengan syariat, bahkan bisa dijadikan alat dukung terhadap syariat. Artinya, budaya tidak punya masalah dengan syariat. Misalnya, sebelum Islam datang, orang Indonesia sudah suka gotong royong. Gotong royong itu ajaran Islam, jadi gak usah dibongkar. Tinggal nambahi syahadat saja. Ada budaya yang netral. Misalnya, tentang lalu lintas, basa-basi, dan lain-lain, asalkan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Yang ketiga, ada budaya yang bertentangan. Yang bertentangan ini dibagi menjadi dua: masih bisa diperbaiki atau harus dipotong. Kalau masih bisa diperbaiki, kita gunakan dakwah untuk memperbaikinya agar selaras dengan agama. Tapi, kalau dia membahayakan agama, itu harus dipotong karena mungkarat. Contohnya, dulu waktu Islam belum masuk ke Indonesia, masyarakat suka menghormati dewa-dewa dan orang mati atau leluhur. Mereka mintanya ke dewa-dewa. Ini bisa diperbaiki apa tidak? Ternyata, bisa diperbaiki. Ya, kamu berdoa kepada leluhur boleh, tapi jangan kepada dewa, kepada Allah saja. Makanan jangan disajikan kepada dewa, kepada orang-orang yang bilang la ila illallah saja.

Apa output dari pendidikan itu?

Output pendidikan pesantren adalah seorang santri akan dengan sendirinya bergerak untuk mencukupi kebutuhan dirinya. Di saat yang sama, ia selalu membawa agama dalam kehidupannya dan berani berpayah-payah untuk agama. Orang-orang yang berani membuat pondok pesantren pasti dia lulusan pesantren. Mereka yang membuat pesantren di pelosok-pelosok, di tepi-tepi hutan Riau, Papua, Kalimantan, dan menempel dengan gubuk, dapat dipastikan anak pesantren. Artinya, rasa pengorbanan anak pesantren itu besar meskipun tidak semua santri seperti itu.

Berarti, bangsa ini punya utang kepada pesantren?

Waaah , besar sekali utang bangsa ini kepada pesantren. Cuma sekalipun banyak utang, tapi tidak diakui. Itu disebabkan kuatnya kepentingan politik. Politik itu sulit mengakui. Politik itu adalah seni mengatur kepentingan, bukan mengatur jasa. Jasa apa pun ketika masuk dalam arena politik dihapuskan semua. Kalau orang sekarang jujur, anak-anak sekolah formal yang tidak dibekali pembangunan karakter sulit baginya untuk menyumbangkan sesuatu kepada negara. Karena, dia hidup untuk dirinya sendiri. Dia akan hidup bersandar kepada negara, tidak menyangga negara.

Dengan jasa yang demikian besar, justru pendidikan pesantren terkesan hanya memenuhi kebutuhan masyarakat kelas bawah. Benar demikian?

Kemungkinan, itu benar karena memang dari awal pendidikan pesantren didesain demikian. Meskipun begitu, ada orang-orang pesantren yang terbukti hebat-hebat. Ada Nurkholis Madjid, Hidayat Nur Wahid, Masykuri Abdillah, Gus Mus, Maftuh Basyuni, dan masih banyak lagi. Cuma jumlah mereka minoritas, tidak sebanyak yang di kelas menengah ke bawah.

Seperti apa kualitas pendidikan pesantren saat ini?

Kita lihat dulu kualitas dari segi apa. Kalau dari segi bangunannya memang jelek. Kalau dari segi intelektualitasnya bervariasi. Tapi, kalau bicara tentang kualitas dalam arti karakter keislamannya, pesantren masih tetap utuh. Semakin menurunnya jumlah santri di beberapa pesantren menunjukkan mereka sudah tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan masyarakat Muslim saat ini. Tetapi, yang terpenting, landasan pesantren itu tidak hilang karena itu mahal. Kalau karakter keindonesiaannya dihilangkan, dia akan terbentur-bentur dalam pengembangan dakwahnya. Jika santri-santri belum pintar, harus kita carikan cara untuk pintar. Maksudnya, dari keunggulan mutiara yang ada ini, kita gosok menjadi berlian dengan memberikan aspek-aspek yang belum mereka miliki.

Supaya pesantren dapat mengembangkan sistem pendidikan yang ideal, apa yang sepatutnya dilakukan?

Saya kira begini, masing-masing pesantren punya independensi dan punya karakter pesantren yang beda-beda. Biasanya, mereka tidak mau mengubah itu. Oleh karena itu, saya tidak mengambil cara menggurui pesantren. Tapi, saya bikin pesantren, kalau mau lihat, ya lihat saja sendiri.

Jadi, dalam masyarakat NU itu, banyak raja-raja kecil?

Memang, dia kumpulan dari raja-raja kecil. Ha ha ha ha .

Bagaimana caranya menjadikan santri itu seperti berlian yang terus berkilau?

Tugas kita sekarang adalah harus menaikkan kualitas pendidikan pesantren. Pesantren Al-Hikam di Malang dan Al-Hikam 2 yang saya dirikan di Jakarta merupakan bagian dari proses untuk menaikkan itu. Jadi, tanpa mengabaikan apa yang sudah ada, kita tingkatkan apa yang ada. Kita tidak usah membuat hal-hal yang kontradiktif dengan apa yang sudah ada. Tapi, apa yang kurang dari yang sudah ada itu kemudian kita tambahkan. Sekarang ini, pesantren belum banyak melahirkan orang-orang di tingkat menengah ke atas. Maka itu, mari kita buat. Bangsa ini membutuhkan cendekiawan yang tidak memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Seorang cendekiawan yang berorientasi pada integrated science , memandang ilmu umum sebagai bagian dari agama. Perguruan tinggi tidak menawarkan pendidikan semacam itu. Maka, dengan Pesantren Al-Hikam, saya berikhtiar menyantrikan intelektual. Itu lebih sulit dibandingkan mengintelekkan santri. Kalau mengintelekkan santri, hanya tinggal switch ilmu pengetahuan. Sedangkan, menyantrikan intelektual itu adalah pembentukan karakter yang prosesnya lebih rumit dan panjang.

Bagi yang tidak kuliah di universitas bagaimana?

Di Al-Hikam Malang ada Ma’had ‘Ali. Ini bertujuan untuk mengkerangkakan ilmu dan mengembangkan pikiran para alumnus pesantren tradisional yang sudah mengerti kitab, tetapi cara berpikir dan pengembangannya belum tertata. Mereka digembleng di Ma’had ‘Ali sehingga anak-anak yang asalnya gak pernah pakai celana, sekarang sudah modis-modis. Bisa main komputer, melek teknologi, bisa menyambungkan kaidah-kaidah ushul fiqh dengan teori-teori logika. Dengan demikian, pengembangan ilmu agama tetap pada akar agamanya. Kita menyiasati bagaimana tradisionalitas dimodernisasi, bukan menghadapkan modernitas dengan tradisionalitas. Jangan sampai kita mencetak orang-orang liberal yang mendelegitimasi ajaran Islam itu sendiri. Itu salah. Bagaimana supaya sebuah tradisi yang dikembangkan tanpa keluar dari akar tradisi dan keagamaan itu.

Di Pesantren Al-Hikam 2, ada program Kulliyatul Qur’an. Mengapa harus pendidikan Alquran?

Para penghafal Alquran di Indonesia kan banyak. Maka, saya mendirikan Kulliyatul Qur’an untuk mendidik mereka mendalami ilmu-ilmu dalam Alquran serta kemukjizatannya. Alquran itu alat ukur. Dunia ini benar atau tidak, alat ukurnya Alquran. Selama ini, kita membuktikan mukjizat Alquran dengan keyakinan. Itu sudah benar, tapi belum lengkap. Mari, kita buktikan kemukjizatan Alquran dengan ilmu dan dengan fakta lapangan bahwa apa yang dikatakan Alquran itu benar adanya dan faktual. Ada firman Allah yang artinya, “Berjalanlan di muka bumi dan lihatlah bagaimana keadaan orang-orang yang mendustakan firman Allah.” Orang-orang yang mendustakan itu berakhir dengan apa, itu faktual. Bukan khayalan. Saya ingin santri-santri di sini menguasai kandungan Alquran dengan wawasan kebangsaan. Berwawasan kebangsaan bukan berarti dia tidak keluar negeri. Kadang-kadang, kita ini kalau sudah ke luar negeri, pulang jadi orang luar negeri. Anehnya, terkadang anak-anak Indonesia yang sekolah di Arab cuma dua tahun, ketika pulang lebih Arab dari orang Arab.

Apa yang diharapkan setelah para santri itu lulus dari pesantren?

Al-Hikam punya moto: amaliah agama, prestasi ilmiah, dan kesiapan hidup. Anak-anak kalau sudah lulus, bagaimana berjuang untuk menghidupi dirinya sendiri. Tidak bergantung kepada orang lain. Harus berani berpayah-payah menghidupi dirinya. Maka itu, santri-santri itu ada yang jual bakso. Kemandirian ditanamkan di dalam kesiapan hidup. Dan, kemandirian itu menyangkut masalah tekad dan skill . Ada skill , gak ada tekad, tetap menjadi buruh. Tapi, ada skill ada tekad, tapi lapangan kerja tidak ada, maka ia harus bekerja keras menciptakan lapangan kerja. Di situ ada double fight . Santri sekarang menghadapi hidup yang sulitnya luar biasa. Maka, ia harus punya skill , tekad, dan mampu menciptakan lapangan kerja sendiri.

Lalu, di mana peran Departemen Agama dalam mengoptimalkan para santri?

Departemen agama kita ini kan masih menjadi agama departemen. Artinya, dia berpikir tentang departemennya lebih banyak ketimbang memikirkan agamanya. Seharusnya, ada keseimbangan antara agama dan departemen. Jadi, agama itu kemudian didepartemenkan. Agama kemudian dikelola di dalam departemen. Tetapi, kalau pengelolaan departemen tanpa roh agama, itu namanya ya agama departemen.

Dengan kata lain, agamanya ya departemen itu?

Agama itu sebenarnya tidak perlu manajemen. Tapi, kalau sudah menyentuh kepentingan umat, perlu manajemen. Yang terjadi sekarang, departemen menyita seluruh pikiran dia sehingga agamanya gak ada. Akibatnya, korupsinya saja yang terus-menerus ada. Meski demikian, Departemen Agama harus tetap dipertahankan karena kalau tidak malah semakin tidak teratur.

Bagaimana Pak Kiai mengatur waktu untuk mengurusi umat dan santri?

Saya kan tidak selalu di PBNU. PBNU kan cuma ngatur kelompok atau kerumunan orang. Tapi kan tidak membuat orang. Kalau pesantren akan membentuk seperti apa orang itu. Jadi, lebih substansial sesuai dengan karakter budaya bangsa. Di PBNU, lebih bersifat sosial dan formalistik.

Apa yang akan Pak Kiai wariskan kepada generasi penerus?

Saya ingin mewariskan pesantren kepada anak-anak saya, tidak mewariskan partai politik. Karena, kalau mewariskan partai, belum diwaris sudah ribut duluan. Orang yang bikin partai masih ada, masih hidup, lha kok partainya sudah diambil orang. Sementara itu, pesantren sampai berapa keturunan masih memberi manfaat bagi masyarakat.

Sumber: Republika, Ahad 19 Juli 2009

http://rifqiemaulana.wordpress.com/2009/07/21/saatnya-santri-meng-intelek-kan-santri/

No comments:

Post a Comment

Sahabat Ku