Friday, November 26, 2010

Sikap Pendidik dalam Menumbuhkan IQ, EQ dan SQ yang Baik kepada Peserta Didik

Sikap Pendidik dalam Menumbuhkan IQ, EQ dan SQ yang Baik kepada Peserta Didik
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebuah survei di AS pada 1918 mengenai IQ menemukan “paradoks” yang membahayakan: bagaimana skor IQ anak-anak makin tinggi, namun kecerdasan emosi mereka justru turun. Dan data hasil survei pada 1970 dan 1980 terhadap orang tua dan guru menunjukkan bahwa anak-anak generasi sekarang lebih sering mengalami masalah emosi dibanding generasi terdahulu. Mereka tumbuh dalam kesepian dan depresi, gampang marah, sulit diatur, cenderung cemas dan agresif.
Disinilah peran pendidik sangat diperlukan karena masih banya orang tua peserta didik yang menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab mendidik pada pendidik (guru). Pemerintah sering melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru, antara lain melalui seminar, pelatihan, dan loka karya, bahkan melalui pendidikan formal bahkan dengan menyekolahkan guru pada tingkat yang lebih tinggi. Kendatipun dalam pelakansaannya masih jauh dari harapan, dan banyak penyimpangan, namun paling tidak telah menghasilkan suatu kondisi yang menunjukkan bahwa sebagian guru memiliki ijazah perguruan tinggi.
Karena begitu pentingnya peran pendidik dalam lingkungan pendidikan yang nantinya mempengaruhi pertumbuhan seseorang (peserta didik), sehingga kualitas pendidik selalu diperhatikan. Oleh karena itu, saya merasa penting untuk mengangkat masalah tentang Bagaimana sikap pendidik dalam menumbuhkan keseimbangan IQ, EQ dan SQ pada peserta didik.
1.2 Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang tersebut, maka masalahnya akan dirumuskan secara terperinci. Adapun rumusan masalah penulisan adalah sebagai berikut.
1. Apa itu pendidik, peserta didik, IQ, EQ, dan SQ serta sikap ?
2. Apa pentingnya IQ, EQ dan SQ serta hubungan ketiganya ?
3. Bagaimana sikap pendidik dalam menumbuhkan keseimbangan IQ, EQ dan SQ pada peserta didik ?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mengenal Sikap, Pendidik, Peserta Didik, IQ, EQ, dan SQ
2.1.1 Pendidik
a. Pengertian Pendidik
Yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkunga yaitu lingkungankeluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masayarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, latihan, dan masyarakat.
b. Persyaratan dan Sifat Pendidik
Kecakapan dan pengetahuan dasar haruslah dimiliki oleh pendidik, sebagaimana disampaikan oleh Winarno Surachmad dengan mengadopsi istilah ‘guru’ sebagai berikut : (a) Pendidik harus mengenal peserta didik yang dipercayakan kepadanya, (b) memiliki kecakapan memberi bimbingan. (c) Memiliki dasar pengetahuan yang jelas tentang tujuan pendidikan di Indonesia pada umumnya sesuai dengan tahap-tahap pembangunan. (d) Pendidik harus memiliki pengetahuan yang bulat dan baru mengenai ilmu yang diajarkan.
Ada tiga persyaratan atau ciri dasar (sifat) yang selalu dapat dilihat pada setiap profesional yang baik mengenai etos kerjanya. Yaitu (1) Keinginan untuk menjungjung tinggi mutu pekerjaan (job quality); (2) Menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan; dan (3) Keinginan untuk memberikan layanan kepada masyarakat melalui karya profesionalnya.
c. Peran Pendidik
Peran pendidik dalam hubungannya dengan pengajaran, diantaranya yaitu pendidik sebagai ukuran kognitif, pendidik sebagai agen moral dan politik, pendidik sebagai agen moral dan politik.
Pendidik sebagai ukuran kognitif. Tugas pendidik umumnya adalah mewariskan pengetahuan berbagai keterampilan kepada generasi muda. Hal-hal yang akan diwariskan itu sudah tentu harus sesuai ukuran yang telah ditentukan masyarakat dan merupakan gambaran tentang keadaan sosial, ekonomi, dan politik. Karena itu pendidik harus mampu memenuhi ukuran kemampuan tersebut.
Pendidik sebagai agen moral dan politik. Pendidik bertindak sebagai agen moral masyarakat, karena fungsinya mendidik warga masyarakat agar melek huruf, pandai berhitung dan berbagai keterampilan kognitif lainnya. Keterampilan-keterampilan itu dipandang sebagai bagian dari proses moral, karena masyarakat yang telah pandai membaca dan pengetahuan, akan berusaha menghindari dari tindakan-tindakan kriminal dan menyimpang dari aturan masyarakat.
Pendidik sebagai innovator. Berkat kamajuan ilmu pengetahuan dan teknoligi, maka masyarakat senantiasa berubah dan berkembang dalam semua aspek. Perubahan dan perkembangan itu menuntut terjadinya inovasi pendidikan. Tanggung jawab melaksanakan inovasi itu diantaranya terletak pada penyelenggaraan pendidikan.
Peranan kooperatif dalam melaksanakan tugasnya pendidik tidak mungkin bekerjasama sendiri dan mengandalkan kemampuan diri sendiri. Karena itu para pendidik perlu bekerja sama antara sesama pendidik dan dengan pekerja-pekerja sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan dengan persatuan orang tua murid.
d. Tugas dan Tanggung Jawab Pendidik
Menurut Roestiyah N.K. yang dikutip oleh Djamarah bahwa pendidik dalam mendidik anak didik bertugas untuk:
1) Menyerahkan kebudayaan kepada anak didik berupa kepandaian, kecakapan dan pengalaman-pengalaman.
2) Membentuk kepribadian anak didik yang harmonis, sesuai cita-cita dan dasar negara kita pancasila.
3) Menyiapkan anak didik menjadi warga negara yang baik sesuai undang-undang pendidikan yang merupakan keputusan MPR No II Tahun 1983
4) Sebagai perantara dalam belajar
5) Pendidik sebagai pembimbing untuk membawa anak didik kedalam kearah kedewasaan, pendidik tidak maha kuasa, tidak dapat membentuk anak didik menurut sekehendaknya.
6) Pendidik sebagai penghubung antara sekolah dan masyarakat
7) Pendidik sebagai penegek disiplin.
8) Pendidik administrator dan manajer.
9) Pendidik sebagai suatu profesi.
10) Pendidik sebagai perencana kurikulum.
11) Pendidik sebagai pemimpin.
12) Pendidik sebagai sponsor kegiatan anak-anak.
2.1.2 Peserta Didik
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebutkan demikian oleh karena peserta didik adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya.
Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah:
a. Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik.
b. Individu yang sedang berkembang.
c. Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
d. Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.
2.1.3 Kecerdasan
a. Pengertian Kecerdasan
David Wechsler (1939) mendefinisikan kecerdasan sebagai kumpulan kapasitas seseorang untuk bereaksi serah dengan tujuan, berpikir rasional dan mengelola lingkungan secara efektif. Ia pula yang mengembangkan peranti tes kecerdasan individual bernama Wechsler Intelligence Scale, yang hingga saat ini masih digunakan dan dipercaya sebagai skala kecerdasan universal. Sebelumnya, JL Stockton (1921) mengatakan kecerdasan adalah kemampuan untuk mempengaruhi proses memilih yang berprinsip pada kesamaan (similarities).
Menurut Kamus Psikologi (2000) diuraikan :
a. Kemampuan menggunakan konsep abstrak.
b. Kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri dengan situasi baru.
c. Kemampuan mempelajari dan memahami sesuatu.
Gardener (2002) memaparkan pengertian kecerdasan (intelligen) mencakup tiga faktor :
a. Kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia.
b. Kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan.
c. Kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang akan memunculkan penghargaan dalam budaya seorang individu.
Intellegensi adalah keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara logis, terarah, serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif (Marten Pali, 1993).
Sehingga dari definisi-definisi di atas disimpulkan bahwa kecerdasan merupakan potensi dasar seseorang untuk berpikir, menganalisis dan mengelola tingkah lakunya di dalam lingkungan dan potensi itu dapat diukur.
b. Ciri-ciri Kecerdasan
Ciri-ciri kecerdasan meliputi cirri-ciri mendasar dan cirri-ciri perilaku intellegen. Ciri-ciri mendasar kecerdasan (intellegens) :
a. To judge well (dapat menilai).
b. To comprehend well (memahami secara menyeluruh).
c. To reason well (memberi alasan dengan baik).
Sedangkan ciri-ciri prilaku intellegen / cerdas :
a. Masalah yang dihadapi merupakan masalah baru bagi yang bersangkutan.
b. Serasi tujuan dan ekonomis (efesien).
c. Masalah mengandung tingkat kesulitan.
d. Keterangan pemecahannya dapat diterima.
e. Sering menggunakan abstraksi.
f. Bercirikan kecepatan.
g. Memerlukan pemusatan perhatian.
c. Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan
a. Pembawaan ; kapasitas / batas kesanggupan.
b. Kematangan ; telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya, erat kaitan dengan umur.
c. Pembentukan ; pengaruh dari luar.
d. Minat.
e. Kebebasan ; terutama dalam memecahkan masalah.
d. Pengukuran Taraf Kecerdasan
Salah satu uji kecerdasan yang diterima luas ialah berdasarkan pada uji psikometrik atau IQ. Pengukuran kecerdasan dilakukan dengan menggunakan tes tertulis atau tes tampilan (performance test) atau saat ini berkembang pengukuran dengan alat bantu komputer. Alat uji kecerdasan yang biasa di pergunakan adalah :
a. Stanford-Binnet intelligence scale
Wechsler scales yang terbagi menjadi beberapa turunan alat uji seperti WB (untuk dewasa), WAIS (untuk dewasa versi lebih baru), WISC (untuk anak usia sekolah) dan WPPSI (untuk anak pra sekolah)
b. IST
c. TIKI (alat uji kecerdasan Khas Indonesia)
d. FRT
e. PM-60, PM Advance
2.1.4 Intelectual Quotient (IQ)
a. Pengertian IQ
Orang sering kali menyamakan arti intelegensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti intelegensi (kecerdasan) sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian IQ hanya menggambarkan sedikt indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara menyeluruh.
Semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori Two Factor-nya, atau Thurstone (1938) dengan teori Primary Mental Abilities-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005).

Kecerdasan ini terletak di otak bagian Cortex (kulit otak). Kecerdasan ini adalah sebuah kecerdasan yang memberikan kita kemampuan untuk berhitung, bernalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi. Atau lebih tepatnya diungkapkan oleh para pakar psikologis dengan “What I Think“.
Meski sudah bertahun-tahun dunia akademik, dunia militer (sistem rekrutmen dan promosi personel militer) dan dunia kerja, menggunakan IQ sebagai standar mengukur kecerdasan seseorang. Selain hal di atas masalah IQ menjadi sorotan para ahli dan mereka mencatat sedikitnya ada dua kelemahan (bukan kesalahan) yang menuntut untuk diperbaruhi, yaitu:
a. Pemahaman absolut terhadap skor IQ .
Steve Hallam berpandangan, pendapat yang menyatakan kecerdasan manusia itu sudah seperti angka mati dan tidak bisa diubah, adalah tidak tepat. Penemuan modern menunjuk pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu hanya 42% yang dibawa dari lahir, sementara sisanya, 58% merupakan hasil dari proses belajar.
b. Cakupan kecerdasan manusia : kecerdasan nalar, matematika dan logika
Steve Hallam sekali lagi mengatakan bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat, sebab dewasa ini makin banyak pembuktian yang mengarah pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu bermacam-macam. Buktinya, Michael Jordan dikatakan cerdas selama berhubungan dengan bola basket. Mozart dikatakan cerdas selama berurusan dengan musik. Mike Tyson dikatakan cerdas selama berhubungan dengan ring tinju.
b. Ciri Khas IQ
Ciri khas IQ meliputi:
a. Logis
b. Rasional
c. Linier
d. Sistematis
c. Pengukuran atau Klasifikasi IQ
a. Very Superior : 130 –
b. Superior : 120 – 129
c. Brght normal : 110 – 119
d. Average : 90 – 109
e. Dull Normal : 80 – 89
f. Borderline : 70 – 79
g. Mental Defective : 69 ke bawah
2.1.5 Emotional Quotient (EQ)
a. Pengertian EQ
Kemampuan untuk mengenali perasaan sendiri, perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, mengelola emosi dengan baik, dan berhubungan dengan orang lain (Daniel Goldman).
Kemampuan mengerti dan mengendalikan emosi (Peter Salovely & John Mayer).
Kemampuan mengindra, memahami dan dengan efektif menerapkan kekuatan, ketajaman, emosi sebagai sumber energi, informasi, dan pengaruh (Cooper & Sawaf).
Bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial, dan adaptasi sosial (Seagel).
Sehingga dapat disimpulkan EQ adalah kemampuan untuk menyikapi pengetahuan-pengetahuan emosional dalam bentuk menerima, memeahami dan mengelola.
Kecerdasan ini di otak berada pada otak belakang manusia. Kecerdasan ini memang tidak mempunya ukuran pasti seperti IQ, namun kita bisa merasakan kualitas keberadaannya dalam diri seseorang. Oleh karena itu EQ lebih tepat diukur dengan feeling. Kecerdasan ini lebih tepat diungkapkan dengan “What I feel”.
b. Aspek dalam EQ
Menurut Salovely & Goldman aspek dalam EQ ada lima, yaitu:
a. Kemampuan mengenal diri (kesadaran diri).
b. Kemampuan mengelola emosi (penguasaan diri).
c. Kemampuan memotivasi diri.
d. Kemampuan mengendalikan emosi orang lain.
e. Kemampuan berhubungan dengan orang lain (empati).
c. Perilaku EQ yang Baik
Berikut adalah perilaku seseorang yang cerdas emosinya.
a. Menghargai emosi negative orang lain.
b. Sabar menghadapi emosi negative orang lain.
c. Sadar dan menghargai emosi diri sendiri.
d. Emosi negative untuk membina hubungan.
e. Peka terhadap emosi orang lain.
f. Tidak bingung menghadapi emosi orang lain.
g. Tidak menganggap lucu emosi orang lain.
h. Tidak memaksa apa yang harus dirasakan.
i. Tidak harus membereskan emosi orang lain.
j. Saat emosional adalah saat mendengatkan.
Sealin itu, orang yang memiliki EQ tinggi bersifat diantaranya:
a. Berempati.
b. Mengungkapkan dan memahami perasaan.
c. Mengendalikan amarah.
d. Kemandirian.
e. Kemampuan menyesuaikan diri.
f. Disukai.
g. Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi.
h. Ketekunan.
i. Kesetiakawanan.
j. Keramahan.
k. Sikap hormat.
2.1.6 Spiritual Quotient (SQ)
a. Pengertian SQ
Kecerdasan spiritual sering disebut SQ (Spiritual Quotient) penemunya Danah Zohar dan Lan Marshall, London, 2000) cenderung diperlukan bagi setiap hamba Tuhan untuk dapat berhubungan dengan Tuhannya. Melibatkan kemampuan, menghidupkan kebenaran yang paling dalam; artinya mewujudkan hal yang terbaik, untuk dan paling manusiawi dalam batin. Gagasan, energi, nilai, visi, dorongan, dan arah panggilan hidup, mengalir dari dalam dari suatu keadaan kesadaran yang hidup bersama cinta.
Dalam bukunya SQ, Dana Zohar tampak tidak memberikan batasan secara definitif, tetapi mereka memberikan penjelasan-penjelasan maupun berbagai gambaran yang semuanya berkaitan dengan esensi SQ. Dari penjelasan-penjelasan tersebut tampak bahwa pengarang sangat menekankan aspek nilai dan makna sebagai unsur penting dari kecerdasan spiritual.
“SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai”. (h.4)
‘‘SQ adalah kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya”. (h.4)
“Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain”. (h.4)
“Kecerdasan ini tidak hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, tetapi juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru”.
Kecerdasan spiritual adalah sumber yang mengilhami, menyemangati dan mengikat diri seseorang kepada nilai-nilai kebenaran tanpa batas waktu (Agus N. Germanto, 2001).
Paul Edwar; “SQ” adalah bukti ilmiah. Ini adalah benar ketika anda merasakan keamanan (secure), kedamaian (peace), penuh cinta (loved), dan bahagia (happy). Ketika dibedakan dengan suatu kondisi dimana anda merasakan ketidak amanan, ketidak bahagian, dan ketidak cintaan.
Victor Frank (Psikolog); Pencarian manusia akan makna hidup merupakan motivasi utamanya dalam hidup ini. Kearifan spiritual; adalah sikap hidup arif dan bijak secara spiritual, yang cenderung lebih bermakna dan bijak, bisa menyikapi segala sesuatu secara lebih jernih dan benar sesuai hati nurani kita, kecerdasan spiritual “SQ”.
Kecerdasan inilah yang menurut para pakar sebagai penentu kesuksesan seseorang. Kecerdasan ini menjawab berbagai macam pertanyaan dasar dalam diri manusia. Kecerdasan ini menjawab dan mengungkapkan tentang jati diri seseorang, “Who I am“. Siapa saya? Untuk apa saya diciptakan?
SQ berlandaskan pada kesadaran transcendental, bukan sekedar SQ pada tataran biologi dan psikologi. Menurut Roger Garaudy (1986: 256-267), dari perspektif syari’ah kesadaran transcendental mempunyai tiga unsur. Pertama, pengakuan tentang ketergantungan manusia kepada Tuhan. Kedua, adanya perbedaan yang mutlah antara Tuhan dan manusia. Ketiga, pengakuan tentang adanya norma-norma mutlak dari Tuhan yang tidak berasal dari manusia.
Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab (Sofyan S. Willis, 2005).
b. Perilaku SQ yang Baik
Menurut Dimitri Mahayana (Agus Nggermanto, 2001), ciri-ciri orang yang ber-SQ tinggi adalah :
a. Memiliki prinsip dan visi yang kuat.
b. Mampu melihat kesatuan dalam keanekaragaman.
c. Mampu memaknai setiap sisi kehidupan.
d. Mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan dan penderitaan.
Zohar dan Marshall memberikan gambaran bagaimana tanda-tanda orang yang memiliki SQ tinggi, yaitu :
a. kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif),
b. tingkat kesadaran yang tinggi,
c. kemampuan menghadapi dan memanfaatkan penderitaan,
d. kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa takut,
e. kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai,
f. keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu,
g. kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan holistik),
h. kecenderungan nyata untuk bertanya: “mengapa?” atau “bagaimana jika?” untuk mencari jawaban yang mendasar dan
i. pemimpin yang penuh pengabdian dan bertanggungjawab.
2.1.7 Sikap
a. Pengertian Sikap
Sikap merupakan suatu kecenderungan untuk mendekat atau menghindar, posotitif atau negative terhadap berbagai keadaan sosial, apakah itu institusi, pribadi, situasi, ide, konsep dan sebagainya (Howard dan Kendler, 1974; Gerungan, 2000).
Gagne (1974) mengatakan bahwa sikap merupakan suatu
keadaan internal (internal state) yang mempengaruhi pilihan tidakan
individu terhadap beberapa obyek, pribadi, dan peristiwa.
Menurut Bimo Walgito (1999:110) bahwa yang dimaksud sikap adalah : “sikap merupakan organisasi pendapat dan keyakinan seseorang terhadap suatu obyek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu sehingga memberikan dasar tertentu kepada individu untuk memberi respon/berperilaku dalam cara yang dipilihnya.”
Gerungan (2000:149) mengemukakan pendapatnya tentang sikap tersebut: “Pengertian Attitude dan diterjemahkan dengan kata sikap terhadap objek tertentu. Ia merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap objek yang tadi itu. Jadi attitude dapat diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan bereaksi terhadap suatu hal.”
Dari berbagai pendapat tentang sikap tersebut diatas, dapat diketahui bahwa sikap merupakan bentuk keyakinan seseorang atau kepercayaan seseorang terhadap suatu obyek atau situasi tertentu (aspek kognitif), yang disertai dengan perasaan positif atau negatif yang berupa rasa suka atau tidak suka, menerima atau menolak dan sebagainya (aspek afektif). Semua ini akan menimbulkan kecenderungan bagi seseorang untuk merespon atau bertindak terhadap objek tersebut (aspek konasi).
b. Komponen Sikap
Sarlito Wirawan (2002: 234) membagi sikap dalam 3 bagian (domain). Ketiga domain sikap itu adalah kognitif, afektif dan konatif. Bimo Walgito (1999:111) bahwa sikap mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap , yaitu;
1) Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal14 hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap objek sikap.
2) Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.
3) Komponen konatif (action component), yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa komponen sikap adalah sebagai berikut: Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa komponen sikap adalah sebagai berikut:
1) Komponen Kognitif yaitu seluruh pikiran, pengetahuan, kepercayaan seseorang mengenai objek sikap. Dengan menempuh mata kuliah bimbingan dan konseling keluarga maka mahasiswa mendapatkan pengetahuan, pandangan, keyakinan mengenai mata kuliah bimbingan dan konseling keluarga
2) Komponen Afektif yaitu seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap objek sikap. Setelah mahasiswa mendapatkan mata kuliah bimbingan dan konseling keluarga maka akan timbul perasaan senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju tentang mata kuliah bimbingan dan konseling keluarga.
3) Komponen Konatif yaitu kecenderungan untuk berperilaku atau merespon bila seseorang melihat objek sikap. Mahasiswa menunjukkan sikap yaitu besar/ kecilnya kecenderungan bertindak/ berperilaku terhadap mata kuliah bimbingan dan konseling keluarga. Komponen-komponen ini yang nantinya dijadikan sebagai pedoman dalam pembuatan kisi-kisi instrumen penelitian tentang sikap mahasiswa peserta mata kuliah bimbingan dan konseling keluarga.
2.2 Pentingnya IQ, EQ, dan SQ serta Hubungan Ketiganya
2.2.1 Pentingnya IQ
Dengan memiliki IQ yang baik dan terstandar maka masing-masing individu memiliki kemantapan pemahaman tentang potensi diri dan pengembangannya untuk kegiatan-kegiatan yang kreatif dan produktif dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk peranannya sebagai pelaksana / pelaku profesi.
2.2.2 Pentingnya EQ
Emotional Quotient (EQ) mempunyai peranan penting dalam meraih esuksesan pribadi dan profesional. EQ dianggap sebagai persyaratan bagi kesuksesan pribadi. Alasan utamanya adalah masyarakat percaya bahwa emosi-emosi sebagai masalah pribadi dan tidak memiliki tempat di luar inti batin seseorang juga batas-batas keluarga. Penting bahwa kita perlu memahami apa yang diperlukan untuk membantu kita membangun kehidupan yang positif dan memuaskan, karena ini akan mendorong mencapai tujuan-tujuan PROFESIONAL kita. Dr. DANIEL GOLEMAN memberikan satu asumsi betapa pentingnya peran EQ dalam kesuksesan pribadi dan profesional :
a. 90% prestasi kerja ditentukan oleh EQ.
b. Pengetahuan dan teknis hanya berkontribusi 4%.
2.2.3 Pentingnya SQ
Pentingnya SQ ini dapat kita lihat bagaimana SQ bagi pelaksana profesi. SDM sebagai pelaksana dari suatu profesi dengan tingkat kecelakaan spiritual (SQ) yang tinggi adalah pemimpin yang tidak sekedar beragama, tetapi terutama beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Seorang pelaksana profesi yang beriman adalah orang yang percaya bahwa Tuhan itu ada, Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui apa-apa yang diucapkan, diperbuat bahkan isi hati atau niat manusia. Seorang pelaksana profesi dapat membohongi pelaksana-pelaksana profesi yang lain yang ada di lembaga kerjanya ataupun di luar lembaga kerjanya, tetapi tidak dapat membohongi Tuhannya.
Selain dari pada itu SDM sebagai pelaksana suatu profesi yang beriman adalah seorang yang percaya adanya malaikat, yang mencatat segala perbuatan yang baik maupun yang tercela dan tidak dapat diajak kolusi. SDM sebagai pelaksana profesi tahu mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang halal dan mana yang haram, mana yang melanggar hukum dan mana yang sesuai dengan hukum.
SDM sebagai pelaksana profesi harus selalu memegang amanah, konsisten (istiqomah) dan tugas yang diembannya adalah ibadah terhadap Tuhan, oleh karena itu semua sikap, ucapan dan tindakannya selalu mengacu pada nilai-nilai moral dan etika agama, selalu memohon taufiq dan hidayah Allah SWT dalam melaksanakan amanah yang dipercayakan kepadanya. Pemimpin tipe ini dalam menjalankan tugasnya selalu berpijak kepada amar am’ruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah kejahatan). Sebagaimana suatu ungkapan seorang pakar, “no religion without moral, no moral without law”.
Oleh karena itu SDM sebagai pelaksana suatu profesi haruslah yang beragama dalam arti beriman dan bertaqwa, bermoral dalam arti dia ta’at pada hukum. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari SDM yang beragama itu belum tentu beriman dan bertaqwa, sehingga dia sesungguhnya tidak bermoral dan melanggar hukum. Sebagai contoh misalnya, SDM yang bersangkutan menjalankan sholat 5 waktu tetapi masih berbuat korupsi juga; atau ia berpuasa tetapi masih melakukan KKN juga dan lain sebagainya.
2.2.4 Hubungan IQ, EQ, SQ
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwasanya kita tidak hanya memerlukan salah satu dari IQ, EQ, SQ yang baik, namun harus ketiganya bila kita ingin sukses atau berhasil dalam hidup. Para psikolog mengatakan, rasa sukses dan bahagia akan diraih jika seseorang bisa menggabungkan setidaknya tiga kecerdasan, yaitu intelektual, emosional, dan spiritual.
Dalam hal penerapannya dalam kehidupan, IQ, EQ, dan SQ bisa digunakan dalam mengambil keputusan tentang hidup kita. Seperti yang kita alami setiap hari, keputusan yang kita buat, berasal dari proses :
1. merumuskan keputusan,
2. menjalankan keputusan atau eksekusi,
3. menyikapi hasil pelaksanaan keputusan.
Rumusan keputusan itu seyogyanya didasarkan pada fakta yang kita temukan di lapangan realita (apa yang terjadi). Kita bisa menggunakan IQ yang menonjolkan kemampuan logika berpikir untuk menemukan fakta obyektif, akurat, dan untuk memprediksi resiko, melihat konsekuensi dari setiap pilihan keputusan yang ada.
Rencana keputusan yang hendak kita ambil (hasil dari penyaringan logika) juga tidak bisa begitu saja diterapkan, semata-mata demi kepentingan dan keuntungan diri kita sendiri. Bagaimana pun, kita hidup bersama dan dalam proses interaksi yang konstan dengan orang lain. Oleh sebab itu, salah satu kemampuan EQ, yaitu kemampuan memahami (empati) kebutuhan dan perasaan orang lain menjadi faktor penting dalam menimbang dan memutuskan.
Banyak fakta dan dinamika dalam hidup ini, yang harus dipertimbangkan, sehingga kita tidak bisa menggunakan rumusan logika matematis untung rugi. Kita pun sering menjumpai kenyataan, bahwa faktor human touch, turut mempengaruhi penerimaan atau penolakan seseorang terhadap kita (perlakuan kita, ide-ide atau bahkan bantuan yang kita tawarkan pada mereka). Salah satu contoh kongkrit, di Indonesia, budaya “kekeluargaan” sangat kental mendominasi dan mempengaruhi perjanjian bisnis, atau bahkan penyelesaian konflik.
Perlu diakui bahwa IQ, EQ dan SQ adalah perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait (interconnected) di dalam diri kita, sehingga tak mungkin juga kita pisah-pisahkan fungsinya. Berhubungan dengan orang lain tetap membutuhkan otak dan keyakinan sama halnya dengan keyakinan yang tetap membutuhkan otak dan perasaan. Seperti kata Thomas Jefferson atau Anthony Robbins, meskipun keputusan yang dibuat harus berdasarkan pengetahuan dan keyakinan sekuat batu karang, tetapi dalam pelaksanaannya, perlu dijalankan sefleksibel orang berenang.
2.3 Sikap Pendidik dalam Menumbuhkan IQ, EQ dan SQ yang Baik kepada Peserta Didik
Perlu disadari oleh pendidik bahwa tingkat kecerdasan seseorang dapat ditingkatkan. Caranya, antara lain, menyekolahkan dan meningkatkan asupan gizi untuk perkembangan saraf otak.
Upaya meningkatkan intelektual peserta didik di sekolah tidak mungkin dilakukan secara instan. Hal itu harus dilakukan secara stimultan sejak dini, sejak usia prasekolah, dengan menyediakan atau menciptakan lingkungan yang memberi stimulasi intelektual. Sebab, inteligensia anak tidak akan berkembang hanya dengan memperhatikan sudut gizi tanpa memperhatikan sudut lingkungan.
Dari sudut pendidikan, inteligensi didefinisikan sebagai kemampuan mengunakan potensi intelek untuk belajar. Sedangkan hasil belajar merupakan pengetahuan yang dimulai dari pengalaman indra, persepsi, imajinasi, konsentrasi, abstraksi, penilaian, dan penalaran. Proses tersebut menyangkut daya ingat atas bahan yang diperoleh sebelumnya, kemudian dikeluarkan untuk proses lebih lanjut (M.S. Hadisubrata, 1988)
Secara kongkret dapat dikatakan, anak dengan kadar intelek dan inteligensi tinggi (cerdas) adalah anak yang pengamatannya tajam, daya persepsi dan imajinasinya kuat, daya abstraksi dan apresiasinya tinggi, daya penalarannya lurus, serta daya konsentarsi dan daya ingatnya kuat.
Pertanyaannya, seberapa jauh urgensi stimulasi untuk merangsang perkembangan IQ (intelegence quotient), EQ (emotional quotient), dan SQ (spiritual quotient)? Hasil penelitian psikolog Skeels dan Dye (1938), White (1971), dan psikolog lain menyimpulkan hal-hal berikut.
Pertama, tanpa stimulasi dari lingkungan, peserta didik tidak akan dapat mengaktualisasikan potensi inteleknya secara maksimal. Di sini, peserta didik belum mencapai titik IQ, EQ, dan SQ optimal yang seharusnya bisa dicapai.
Kedua, ada kecenderungan para ahli untuk merangsang perkembangan inteligensi secara maksimal dalam dua kategori, nonverbal dan verbal. Yang termasuk nonverbal adalah aktivitas untuk merangsang pengakraban indera seperti mainan dan aktivitas fisik lain sejenis.
Sedangkan yang dimaksud verbal adalah berbicara, menghafal, mengajar bahasa, dan sejenisnya. Bagi peserta didik di kelas rendah (SD, TK, playgroup), dua jenis rangsangan itu merupakan learn climate (iklim belajar) seperti halnya yang terjadi pada peserta didik di kelas menengah (SMP, SMA).
2.3.1 IQ
Dalam mengembangkan IQ (yang menurut para ahli dapat ditingkatkan dengan stimulasi, seperti medengarkan musik Mozart yang berfrekuensi 8 KHz). Sebagi pendidik, tentu kemampuan akademis yang baik diperlukan dalam mengajar. Namun hal ini belum tentu dapat meningkatkan IQ peserta didik, sehingga selain dengan menyadarkan pentingnya asupan gizi yang cukup dan seimbang pada peserta didik, dapat juga meupayakan dengan melatih 7 kemampuan primer dari inteligensi umum, yaitu peserta didik :
1. pemahaman verbal,
2. kefasihan menggunakan kata-kata,
3. kemampuan bilangan,
4. kemampuan ruang,
5. kemampuan mengingat,
6. kecepatan pengamatan, dan
7. kemampuan penalaran.
2.3.2 EQ
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan pendidik untuk membina keterampilan-keterampilan kecerdasan emosi peserta didik adalah sebagai berikut:
1. pendidik dapat membantu peserta didik untuk mengidentifikasi dan memberi nama perasaan-perasaan yang dialaminya, serta menunjukkan cara pengungkapannya yang tepat dan tidak berlebihan,
2. pendidik mengajarkan peserta didik untuk berpikir realistis dan optimis,
3. pendidik mengajarkan peserta didik untuk melihat suatu permasalahan dari sudut pandang yang lain, serta memberikan kesempatan untuk memecahkan masalahnya sendiri,
4. pendidik memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berdiskusi mengenai permasalahan dan perasaan yang dihadapinya,
5. pendidik mengajarkan peserta didik untuk lebih menghargai usaha yang telah dilakukan daripada hasil yang diperoleh dan
6. pendidik menunjukkan teladan dalam pergaulan serta sopan santun yang berlaku di lingkungan sekitar.
2.3.3 SQ
SQ berlandaskan pada kesadaran transcendental, bukan sekedar SQ pada tataran biologi dan psikologi. Bertolak dari pandangan bahwa SQ yang berlandaskan kesadaran transcendental, maka secara teoritis pembentukan SQ yang sejati harus melalui pendidikan agama.
Sehubungan dengan pembentukan SQ ini, Ary Ginanjar Agustian (2001) menyarankan perlunya diupayakan empat langkah pokok, yaitu:
a. Melakukan kejernihan emosi (zero mind process) sebagai prasyarat lahirnya alam pikiran yang jernih dan suci (God-Spot/fitrah), yaitu kembali kepada hati dan pikiran yang bersifat merdeka serta bebas dari belenggu.
b. Membangun mental yang berkaitan dengan kesadaran diri, yang dibangun dari alam pikiran dan emosi secara sistematis berdasarkan rukun iman (prinsip: bintang atau ilahi, malaikat, kepemimpinan, pembelajaran, masa depan, keteraturan).
c. Membentuk ketangguhan pribadi, suatu langkah pengasahan hati yang telah terbentuk berdasarkan rukun islam, yang dimulai dari: (a) penetapan misi, (b) pembentukan karakter secara kontinyu dan intensif, dan (c) pelatihan pengendalian diri. Membentuk ketangguhan sosial, yaitu melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau lingkungan social sebagai suatu perwujudan tanggung jawab social seseorang yang telah memiliki ketangguhan pribadi. Hal ini dilakukan dengan dua langkah, yaitu (a) sinergi, dan (b) aplikasi total.
d. Pemahaman tentang al-asmaul husna. Dengan al-asmaul husna yang merupakan junci dasar rukuk imam dan rukun Islam, seseorang dapat merasakan dan mendeteksi satu per satu dorongan suara hati terdalam dengan jelas; juga perasaan serta suara hati orang lain yang pada hakekatnya bersuber pada suara hati Allah yang Maha Mulia dan Maha Benar.
Sehingga dalam mengembangkan kecerdasan spiritual adalah dengan menanamkan nilai-nilai kehidupan sejak dini yaitu kesadaran tinggi akan makna dan nilai. Makna dan nilai adalah dua hal yang berkaitan. Membantu peserta didik dalam menyeleksi, menyarikan, dan mengintegrasikan pengalaman-pengalaman yang akan membentuk pribadi yang cerdas secara spiritual.
Hal tersebut dapat dilakukan bila terjadi kedekatan yang baik antara peserta didik dan pendidik, untuk itu peserta didik diharapkan dapat menjalin kerjasama yang baik antara pendidik dan peserta didik. Sehingga mengajar perlu emosional dan spiritual yang baik selain intelektual.
Menurut Danni Ronnie ada enam belas pilar agar guru dapat mengajar dengan hati. Keenam belas pilar tersebut menekankan pada sikap dan perilaku pendidik untuk mengembangkan potensi peserta didik. Enam belas pilar pembentukan karakter yang harus dimiliki seorang guru, antara lain:
1. kasih sayang,
2. penghargaan,
3. pemberian ruang untuk mengembangkan diri,
4. kepercayaan,
5. kerjasama,
6. saling berbagi,
7. saling memotivasi,
8. saling mendengarkan,
9. saling berinteraksi secara positif,
10. saling menanamkan nilai-nilai moral,
11. saling mengingatkan dengan ketulusan hati,
12. saling menularkan antusiasme,
13. saling menggali potensi diri,
14. saling mengajari dengan kerendahan hati,
15. saling menginsiprasi,
16. saling menghormati perbedaan.
Jika para pendidik menyadari dan memiliki menerapkan 16 pilar pembangunan karakter tersebut jelas akan memberikan sumbangsih yang luar biasa kepada masyarakat dan negaranya.
Yang paling perlu diingat dalam rangka stimulasi kecerdasan, emosi, dan spiritual adalah peran orang tua dan guru sama-sama penting. Fungsi sekolah dan lingkungan keluarga, dan tempat bermain sama vitalnya. Semua harus saling mendukung, tidak boleh ada satu aspek pun yang lemah. Sehingga perlu sekali merangsang inteligensi peserta didik sedini mungkin, sejak usia pembentukan, saat masih mudah merangsang perkembangan kecerdasan, emosi, dan fisik. Kualitas perkembangan yang diperoleh pada masa balita itulah yang nanti menjadi dasar pola perkembangan inteligensi selanjutnya. Sehingga, tidak aneh bila tingkat kecerdasan, stabilitas emosi, dan kepekaan sosial peserta didik di tingkat SMP/SMA sangat variatif meski mereka belajar di satuan pendidikan dengan fasilitas sama.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Sedangkan peserta didik berstatus sebagai subjek didik.
Setiap manusia memiliki kecerdasan yang diartikan sebagai potensi dasar seseorang untuk berpikir, menganalisis dan mengelola tingkah lakunya di dalam lingkungan dan potensi itu dapat diukur. Kecerdasan terdiri dari IQ, EQ dan SQ. IQ adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. EQ adalah kemampuan untuk menyikapi pengetahuan-pengetahuan emosional dalam bentuk menerima, memeahami dan mengelola. SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai.
IQ, EQ dan SQ adalah perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait (interconnected) di dalam diri kita, sehingga tak mungkin juga kita pisah-pisahkan fungsinya.
Pendidik memiliki peranan penting dalam menumbuhkan keseimbangan IQ, EQ dan SQ. Hal ini hanya dapat dilakukan bila terjadi kedekatan yang baik antara peserta didik dan pendidik, untuk itu peserta didik diharapkan dapat menjalin kerjasama yang baik antara pendidik dan peserta didik.
Yang paling perlu diingat dalam rangka stimulasi kecerdasan, emosi, dan spiritual adalah peran orang tua dan guru sama-sama penting. Fungsi sekolah dan lingkungan keluarga, dan tempat bermain sama vitalnya. Semua harus saling mendukung, tidak boleh ada satu aspek pun yang lemah.
3.2 Saran
Para pendidik, calon pendidik, dan pihak-pihak yang terkait hendaknya mulai memahami, menerapkan, dan mengembangkan sikap-sikap serta perilaku dalam dunia pendidikan melalui teladan baik dalam pikiran, ucapan, dan tindakan.
http://andika-hadi.blogspot.com/2009/05/ramalan-percaya-atau-tidak.html

No comments:

Post a Comment

Sahabat Ku