Oleh: Ian Suherlan
“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bagian timur bumi dan bagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya,” (QS al-A’raf [7]: 137)
Secara sosiologis agama tidak bisa dilepas dari citranya sebagai pencipta konflik. Dalam sejarah perang salib, agama dilihat sebagai faktor yang berperan di dalamnya. Meskipun motif politik dan ekonomi juga dapat ditetapkan sebagai pemicunya, namun agama memiliki peran dalam meningkatkan dan mengkristalkan konflik tersebut.
Di situ, agama dihadapkan pada dua kepentingan yang berbeda, tetapi berangkat dari keinginan yang sama, masing-masing ingin menaklukkan lawannya yang dipersepsi sebagai pihak yang bersalah.
Dalam realitas kontemporer pun masih ditemukan adanya keterlibatan agama dalam kerusuhan sosial dan konflik destruktif. Beberapa kasus konflik antar-pemeluk agama di tanah air sepanjang delapan tahun terakhir mengisyaratkan bahwa agama punya andil cukup signifikan. Sebagaimana dapat dilihat dalam benturan antaragama di Ambon, Kalimantan, bahkan di Jakarta.
Konflik tersebut tidak dalam bingkai konstruktif seperti yang dikonsepsikan oleh Hegel—menurut Hegel, konflik adalah suatu dialektika yang akan bermuara pada kemajuan, yaitu benturan antara tesa dan antitesa yang kemudian memunculkan sintesa, suatu gagasan atau keadaan yang melampaui keadaan sebelumnya (1999). Konflik destruktif justru akan melahirkan kerusakan dan kerugian bagi kehidupan. Dalam banyak kasus peperangan dan kerusuhan, agama dinilai berperan sebagai pemicunya.
Citra bahwa agama identik dengan konflik dan perang tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Konflik sebetulnya lebih disebabkan oleh faktor ekonomi dan politik. Hanya saja agama memiliki sistem simbol yang sangat mudah digunakan untuk memobilisasi masa. Sehingga konflik ekonomi dan politik itu terlihat seperti benturan suci yang digerakkan oleh agama.
Perhatian Islam terhadap Kaum Tertindas
Namun juga tidak bisa dielakkan bahwa agama berperan dalam menimbulkan konflik, tapi konflik yang kontruktif, bukan destruktif. Sejarah perjuangan para Nabi dalam menghadapi kekuasaan para raja dan bangsawan mengisyaratkan adanya benturan. Para Nabi berada dalam posisi mengkritisi perilaku despotik penguasa.
Dalam kritisisme tersebut para Nabi selalu berpihak kepada orang-orang yang teraniaya (mustadh’afin). Al-Quran menyatakan bahwa bumi dipusakakan (diwariskan) kepada kaum tertindas di muka bumi. Allah berfirman, “Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bagian timur bumi dan bagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya,” (QS al-A’raf [7]: 137).
Dalam ayat lain Allah memerintahkan untuk menolong kaum tertindas, bahkan berperang demi membela mereka. “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!’,” (QS an-Nisa [4]: 75).
Selain itu, Allah Swt menjanjikan karunia kepada kaum mustadh’afin dan menjadikan mereka sebagai pemimpin. “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi),” (QS al-Qashash [28]: 5).
Menurut Farid Esack—penyandang gelar doktor di bidang tafsir Al-Quran, staf pengajar di Universitas Western Cape, Afrika Selatan, dan tokoh senior dalam World Conference on Religion and Peace serta orang berjuang melawan sistem Apharteid di Afrika Selatan—seseorang disebut mustadh’afin apabila ada orang yang bertanggung jawab atas penderitaan mereka. Seseorang hanya menjadi mustadh’afin diakibatkan oleh perilaku atau kebijakan pihak penguasa yang arogan (Farid Esack, 1997).
Dalam al-Quran, orang yang tertindas disebut sebagai mustadh’afin; kelompok manusia yang berada salam status sosial “inferior”, tersisih, dan tertindas secara sosio-ekonomis dan sering diperlakukan secara diskriminatif. Selain menggunakan kata mustadh’afin untuk menyebut kaum yang tertindas, al-Quran juga memakai istilah lain untuk menunjuk kelas sosial yang rendah, seperti arâdzil (yang tersisih), fuqarâ’ (fakir), dan masâkin (orang-orang miskin).
Rasulullah Saw pun sangat memperhatikan, menolong, membantu, dan mencintai kaum mustadh’afin dan fakir miskin. “Cintailah (kasihinilah) fakir miskin umatku sebab sesungguhnya mereka memiliki negara kelak pada hari kiamat,” (HR Hasan). Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, “Carilah aku di antara orang-orang lemah kalian. Sesungguhnya kalian diberi rezeki dan kemenangan karena orang-orang lemah kalian,” (HR Abu Daud).
Agama Profetik
Dengan demikian agama Islam adalah agama yang sangat peduli terhadap kaum lemah dan selalu berada di samping kaum tertindas. Agama semacam ini dalam kajian sosiologi disebut sebagai agama profetik. Biasanya, posisi agama profetik berjarak dengan kekuasaan; sehingga memungkinkan para tokohnya melakukan kritik terhadap kebijakan negara yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Kiprah Islam sebagai agama profetik dapat ditemukan dalam sejarah agama Islam di Indonesia pada masa kolonial Belanda. Betapa gerakan-gerakan perlawanan dan pemberontakan terhadap Belanda banyak dilakukan jamaah tarekat dan jamaah Islam lainnya yang tergabung dalam pesantren atau komunitas sejenis (Martin Van Bruinessen, 1995). Tidak heran jika pemerintah kolonial Belanda pada saat itu berinisiatif melakukan penelitian intensif terhadap tarekat-tarekat di Jawa dan pengaruhnya terhadap gerakan perlawanan. Hingga kini hasil-hasil penelitian yang jumlahnya ratusan tersebut dapat ditemukan di beberapa universitas Belanda.
Selain simbol-simbol agama mudah dipergunakan untuk meningkatkan eskalasi konflik, agama juga ikut andil dalam membangun harmoni. Peran seperti ini biasanya ditemukan dalam agama yang hidup dalam masyarakat yang mapan, dimana agama diposisikan sebagai pemberi legitimasi terhadap kebijakan penguasa. Kiprah agama Islam dalam kekuasaan Turki Ustmani menggambarkan peran agama sebagai penjaga stabilitas dan persatuan. Kiprah semacam ini dapat ditemukan sepanjang sejarah dinasti Islam selama ratusan tahun di Timur Tengah.
Kekuasaan para khilafah di masa Umayyah maupun Abbasiyah memosisikan agama sebagai agen penguat legitimasi politik sekaligus penjaga stabilitas politik. Kasus Mihnah (inkuisisi) terhadap akidah tokoh-tokoh Islam pada masa Khalifah al-Ma’mun, mengindikasikan hal itu. Loyalitas tokoh-tokoh publik ditunjukkan lewat kesamaan akidah.
Di satu sisi, peran tersebut akan membuat agama menjadi stagnan, karena agama dibakukan sebagai alat penjaga kekuasaan. Perkembangan internal agama lebih pada upaya membangun ketaatan dan loyalitas rakyat terhadap penguasa. Selebihnya, agama digunakan sebagai pengawet tradisi. Sisi ini bisa dikategorikan sebagai sisi lemah dari jenis agama ini.
Di lain sisi, peran penjaga tradisi tersebut justru dapat menjadi alat untuk membangun solidaritas mekanik. Karena dalam rekam jejak kiprah agama, kekuatannya terletak pada kemampuan menyediakan kerangka simbolik yang dapat menyatukan masyarakat. Emile Durkheim mengatakan bahwa kualitas kepaduan dan keharmonisan sebuah masyarakat akan memancarkan kualitas keagamaan.
Semakin harmonis sebuah masyarakat akan semakin meningkatkan kualitas keagamaannya, dan itu bisa menjadi suatu lingkaran korelasi, bahwa semakin tinggi kualitas keagamaan, akan semakin mencerminkan adanya keharmonisan di masyarakat. Karena itu, banyaknya konflik yang mendera suatu negeri menandakan baha kualitas keberagamaan penduduk negeri tersebut kurang baik. Wallahu a’lam bis shawab.
Sumber:
http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A4997_0_3_0_M
“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bagian timur bumi dan bagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya,” (QS al-A’raf [7]: 137)
Secara sosiologis agama tidak bisa dilepas dari citranya sebagai pencipta konflik. Dalam sejarah perang salib, agama dilihat sebagai faktor yang berperan di dalamnya. Meskipun motif politik dan ekonomi juga dapat ditetapkan sebagai pemicunya, namun agama memiliki peran dalam meningkatkan dan mengkristalkan konflik tersebut.
Di situ, agama dihadapkan pada dua kepentingan yang berbeda, tetapi berangkat dari keinginan yang sama, masing-masing ingin menaklukkan lawannya yang dipersepsi sebagai pihak yang bersalah.
Dalam realitas kontemporer pun masih ditemukan adanya keterlibatan agama dalam kerusuhan sosial dan konflik destruktif. Beberapa kasus konflik antar-pemeluk agama di tanah air sepanjang delapan tahun terakhir mengisyaratkan bahwa agama punya andil cukup signifikan. Sebagaimana dapat dilihat dalam benturan antaragama di Ambon, Kalimantan, bahkan di Jakarta.
Konflik tersebut tidak dalam bingkai konstruktif seperti yang dikonsepsikan oleh Hegel—menurut Hegel, konflik adalah suatu dialektika yang akan bermuara pada kemajuan, yaitu benturan antara tesa dan antitesa yang kemudian memunculkan sintesa, suatu gagasan atau keadaan yang melampaui keadaan sebelumnya (1999). Konflik destruktif justru akan melahirkan kerusakan dan kerugian bagi kehidupan. Dalam banyak kasus peperangan dan kerusuhan, agama dinilai berperan sebagai pemicunya.
Citra bahwa agama identik dengan konflik dan perang tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Konflik sebetulnya lebih disebabkan oleh faktor ekonomi dan politik. Hanya saja agama memiliki sistem simbol yang sangat mudah digunakan untuk memobilisasi masa. Sehingga konflik ekonomi dan politik itu terlihat seperti benturan suci yang digerakkan oleh agama.
Perhatian Islam terhadap Kaum Tertindas
Namun juga tidak bisa dielakkan bahwa agama berperan dalam menimbulkan konflik, tapi konflik yang kontruktif, bukan destruktif. Sejarah perjuangan para Nabi dalam menghadapi kekuasaan para raja dan bangsawan mengisyaratkan adanya benturan. Para Nabi berada dalam posisi mengkritisi perilaku despotik penguasa.
Dalam kritisisme tersebut para Nabi selalu berpihak kepada orang-orang yang teraniaya (mustadh’afin). Al-Quran menyatakan bahwa bumi dipusakakan (diwariskan) kepada kaum tertindas di muka bumi. Allah berfirman, “Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bagian timur bumi dan bagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya,” (QS al-A’raf [7]: 137).
Dalam ayat lain Allah memerintahkan untuk menolong kaum tertindas, bahkan berperang demi membela mereka. “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!’,” (QS an-Nisa [4]: 75).
Selain itu, Allah Swt menjanjikan karunia kepada kaum mustadh’afin dan menjadikan mereka sebagai pemimpin. “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi),” (QS al-Qashash [28]: 5).
Menurut Farid Esack—penyandang gelar doktor di bidang tafsir Al-Quran, staf pengajar di Universitas Western Cape, Afrika Selatan, dan tokoh senior dalam World Conference on Religion and Peace serta orang berjuang melawan sistem Apharteid di Afrika Selatan—seseorang disebut mustadh’afin apabila ada orang yang bertanggung jawab atas penderitaan mereka. Seseorang hanya menjadi mustadh’afin diakibatkan oleh perilaku atau kebijakan pihak penguasa yang arogan (Farid Esack, 1997).
Dalam al-Quran, orang yang tertindas disebut sebagai mustadh’afin; kelompok manusia yang berada salam status sosial “inferior”, tersisih, dan tertindas secara sosio-ekonomis dan sering diperlakukan secara diskriminatif. Selain menggunakan kata mustadh’afin untuk menyebut kaum yang tertindas, al-Quran juga memakai istilah lain untuk menunjuk kelas sosial yang rendah, seperti arâdzil (yang tersisih), fuqarâ’ (fakir), dan masâkin (orang-orang miskin).
Rasulullah Saw pun sangat memperhatikan, menolong, membantu, dan mencintai kaum mustadh’afin dan fakir miskin. “Cintailah (kasihinilah) fakir miskin umatku sebab sesungguhnya mereka memiliki negara kelak pada hari kiamat,” (HR Hasan). Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, “Carilah aku di antara orang-orang lemah kalian. Sesungguhnya kalian diberi rezeki dan kemenangan karena orang-orang lemah kalian,” (HR Abu Daud).
Agama Profetik
Dengan demikian agama Islam adalah agama yang sangat peduli terhadap kaum lemah dan selalu berada di samping kaum tertindas. Agama semacam ini dalam kajian sosiologi disebut sebagai agama profetik. Biasanya, posisi agama profetik berjarak dengan kekuasaan; sehingga memungkinkan para tokohnya melakukan kritik terhadap kebijakan negara yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Kiprah Islam sebagai agama profetik dapat ditemukan dalam sejarah agama Islam di Indonesia pada masa kolonial Belanda. Betapa gerakan-gerakan perlawanan dan pemberontakan terhadap Belanda banyak dilakukan jamaah tarekat dan jamaah Islam lainnya yang tergabung dalam pesantren atau komunitas sejenis (Martin Van Bruinessen, 1995). Tidak heran jika pemerintah kolonial Belanda pada saat itu berinisiatif melakukan penelitian intensif terhadap tarekat-tarekat di Jawa dan pengaruhnya terhadap gerakan perlawanan. Hingga kini hasil-hasil penelitian yang jumlahnya ratusan tersebut dapat ditemukan di beberapa universitas Belanda.
Selain simbol-simbol agama mudah dipergunakan untuk meningkatkan eskalasi konflik, agama juga ikut andil dalam membangun harmoni. Peran seperti ini biasanya ditemukan dalam agama yang hidup dalam masyarakat yang mapan, dimana agama diposisikan sebagai pemberi legitimasi terhadap kebijakan penguasa. Kiprah agama Islam dalam kekuasaan Turki Ustmani menggambarkan peran agama sebagai penjaga stabilitas dan persatuan. Kiprah semacam ini dapat ditemukan sepanjang sejarah dinasti Islam selama ratusan tahun di Timur Tengah.
Kekuasaan para khilafah di masa Umayyah maupun Abbasiyah memosisikan agama sebagai agen penguat legitimasi politik sekaligus penjaga stabilitas politik. Kasus Mihnah (inkuisisi) terhadap akidah tokoh-tokoh Islam pada masa Khalifah al-Ma’mun, mengindikasikan hal itu. Loyalitas tokoh-tokoh publik ditunjukkan lewat kesamaan akidah.
Di satu sisi, peran tersebut akan membuat agama menjadi stagnan, karena agama dibakukan sebagai alat penjaga kekuasaan. Perkembangan internal agama lebih pada upaya membangun ketaatan dan loyalitas rakyat terhadap penguasa. Selebihnya, agama digunakan sebagai pengawet tradisi. Sisi ini bisa dikategorikan sebagai sisi lemah dari jenis agama ini.
Di lain sisi, peran penjaga tradisi tersebut justru dapat menjadi alat untuk membangun solidaritas mekanik. Karena dalam rekam jejak kiprah agama, kekuatannya terletak pada kemampuan menyediakan kerangka simbolik yang dapat menyatukan masyarakat. Emile Durkheim mengatakan bahwa kualitas kepaduan dan keharmonisan sebuah masyarakat akan memancarkan kualitas keagamaan.
Semakin harmonis sebuah masyarakat akan semakin meningkatkan kualitas keagamaannya, dan itu bisa menjadi suatu lingkaran korelasi, bahwa semakin tinggi kualitas keagamaan, akan semakin mencerminkan adanya keharmonisan di masyarakat. Karena itu, banyaknya konflik yang mendera suatu negeri menandakan baha kualitas keberagamaan penduduk negeri tersebut kurang baik. Wallahu a’lam bis shawab.
Sumber:
http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A4997_0_3_0_M
No comments:
Post a Comment