A H W A L
A. Pendahuluan
Dalam pembicaraan tentang terakat sebagai perjalanan spiritual kita tidak bisa mengabaikan dua istilah teknis yang penting. Yaitu “maqamat dan ahwal”. Adapun ahwal merupakan bentuk jamak dari “hal” yang biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.
Sekalipun sama-sama dialami dan dicapai selama masa perjalanan spiritual seorang sufi menuju Tuhannya, namun menurut para sufi ada perbedaan yang mendasar antara maqamat dan ahwal, baik dari cara mendapatkannya maupun kelangsungannya. Ahwal sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Di antara ahwal yang sering disebut adalah takut, syukur, rendah hati, taqwa, ikhlas, gembira. Meskipun ada perdebatan di antara para penulis tasawuf, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan dan berlangsung sebentar dan diperoleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-kilatan ilahi yang biasa disebut “lama’at”.1
B. Pembahasan
1. Definisi Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal. Seperti halnya maqam, hal (state) digunakan kaum sufi untuk menunjukkan kondisi spiritual. Kata hal dalam perspektif tasawuf sering diartikan dengan “keadaan”, maksudnya adalah keadaan atau kondisi spiritual. Hal, sebagai suatu kondisi yang singgah dalam kolbu merupakan efek dari peningkaan maqamat seseorang.2
Secara lebih jauh al-Qusyairi melihat bahwa hal merupakan arti yang intuitif dalam hati, tanpa adanya unsur sengaja. Usaha menarik, dan usaha lainnya, dari rasa senang atau sedih, leluasa atau tergenggang, rindu atau brontak, rasa takut atau suka cita. Maka setiap hal, kata al-Qusyairi merupakan karunia (mawahib), dan setiap maqam adalah upaya (maqasib). Hal, datang dari wujud itu sendiri, sedang maqam diperoleh melalui upaya perjuangan.
Hal adalah keadaan-keadaan spiritual. Ini adalah anugerah dan karunia Allah kepada penempuh jalan spiritual.3 Ibnu Arabi menyebut hal adalah setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu yang lain, seperti kemabukan, fana’ (hilang kesadaran diri), ketidakhadiran dan ridha, eksistensinya tergantung pada sebuah kondisi. Ia menjadi sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada.
Al-Ghazali menyatakan, apabila seseorang telah tetap dan mantap dalam suatu maqam, ia akan memperoleh suatu perasaan tertentu, dan itulah hal. Hal Nampak cepat berubah. Ia mencontohkan dalam warna kuning yang dapat dibagi dua bagian. Warna kuning yang tetap, seperti warna kuning yang ada pada emas dan warna kuning yang cepat berubah yakni warna kuning yang ada pada sakit kuning. Begitu pula perasaan, kondisi dan sifat hati. Kadangkala mempunyai sifat tetap dan mempunyai sifat berubah. Kondisi, sifat dan perasaan hati yang tetap disebut maqam dan yang mempunyai sifat berubah dinamakan hal.
Abdullah ibn ‘Alaawy al-Haddad mempunyai pandangan yang berbeda dengan pandangan para sufi di atas. Menurut al-Haddad, ahwal adalah suatu kondisi batin yang dialami seorang sufi dalam keadaan belum mantap, kemudian ketika kondisi batin itu telah mantap maka disebutlah maqam. Ahwal, dalam pandangan al-Haddad dapat diperoleh seseorang karena pengaruh dari ilmu, sebab ilmu dapat membuahkan hal dan hal menghadirkan maqam.
Mayoritasa kaum sufi membedakan antara maqam dan hal secara literal. Hal disebut demikian karena berubah-ubahnya (li-tahawwulihi), sedang maqam dinamakan demikian karena keadaannya tetap dan permanen (li tsubutihi wa istiqrarihi). Dengan demikian maqam adalah tetap sedang hal senantiasa berubah.4
2. Macam-macam Ahwal
a. Muraqabah
Secara literal, muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Sedang secara terminologis, berarti melestarikan pengamatan kepada Allah dengan hatinya. Sehingga manusia mengamati pekerjaan dan hukum-hukumnya, dan dengan penuh perasaan-Nya. Allah melihat dirinya dalam gerak dan diam-Nya.5
Menurut al-Qusyairi, muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinya. Sang hamba hanya akan sampai kepada muraqabah ini setelah sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinya sendiri mengenai apa yang telah terjadi dimasa lampau, memperbaiki keadaannya di masa kini, tetap teguh di jalan dengan benar, memperbaiki hubungannya dengan Allah sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat senantiasa ingat kepada Allah, taat kepada-Nya dalam segala kondisi. Baru setelah ini, semua dilakukan, Allah melihat perbuatannya dan mendengar perkataannya.
Muraqabah menurut al-Sarraj, adalah kesadaran rohani sang hamba bahwa Allah senantiasa mengawasinya. Menurut al-Sarraj, ahli muraqabah itu dalam muraqabahnya terbagi ats tiga tingkatan:
1) Tingkatan Pertama
Adalah tingkatan ibtida’. Kelompok ini seperti yang disebut Hasan ibn ‘Ali al-Damaghani bahwa bagi sang hamba hendaknya senantiasa menjaga rahasia-rahasia hati karena Allah selalu mengawasi setiap apa-apa yang tersirat dalam batin.
2) Tingkatan Kedua
Dalam muraqabah ini ditunjukkan oleh ibn ‘Atha yang mengatakan, “sebaik-baik kalian adlah yang senantiasa mengawasi Yang Haq di dalam fana’ kepada selain yang haq dan senaniasa mengikuti Nabi Muhammad SAW dalam perbuatan, akhlak dan adabnya. Artinya, sang hamba memiliki kesadaran penuh bahwa sebaik pengawasan adalah pengawasan Allah tidak sedikitpun terbesit adanya pengawasan yang lain, dan bagi hamba hendaknya ia lebur bersama-Nya.
3) Tingkatan Ketiga
Dari ahli muraqabah adalah hal al kubara’ (orang-orang agung), yakni mereka yang senantiasa mengawasi Allah dan meminta kepada-Nya untuk menjaga mereka dalam muraqabah dan Allah sendiri sudah menjamin secara khusus hamba-hamba-Nya yang mulia itu untuk tidak mempercayakan mereka dan segala kondisi mereka kepada selain diri-Nya dan hanya Allah saja yang melindungi mereka.
b. Qurb
Secara literal, qurb berarti dekat darinya dan kepadanya. Menurut al-Saqathi, qurb (mendekatkan diri kepada Allah) adalah taat kepada-Nya. Sementara Ruwaym ibn Ahmad ketika ditanya tentang qurb, menjawab “menghilangkan setiap hal yang merintangi dirimu untuk bersama-Nya”.
Dalam pandangan al-Sarraj, qurb adalah penyaksian sang hamba dengan hatinya akan kedekatan Allah kepadanya, maka ia mendekat kepada Allah dengan ketaatannya, dan mengerahkan segala keinginannya kepada Allah semata dengan cara mengingatnya secara kontinu baik pada keramaian maupun dikala sendiri.
Menurut al-Sarraj, Qurb ada tiga tingkatan yaitu:
1) Tingkatan pertama dari tiga tingkatan orang-orang mendekat kepada Allah adalah orang-orang yang berjuang mendekati Allah dengan berbagai macam ketaatan karena merka memiliki pengetehuan yang diberikan oleh Allah, mengetahui kedekatan dan kekuasaan Allah kepada mereka.
2) Tingkatan kedua adalah orang yang sudah sempurna dengan keadaan tingkat pertama. Artinya dengan ketaatan dan illmunya tentang Allah ia yakin merasa melihat dan dekat kepad Allah.
3) Tingkatan ketiga adalah kelompok kaum agung dan kaum akhir (hal al-Kubara wa ahl al-Nihayah). Kondisi qurb mereka seperti yang diceritakan oleh Husyan an-Nuri. Ia menjelaskan dalam pandangan kaum sufi, teman sejati adalah Allah dan bukan yang lain. Kedekatan kepada Allah jauh lebih baik daripada kedekatan sepasang sahabat. Dan kedekatan sepasang sahabat boleh jadinya itu artinya semakin jauhnya hamba dari Allah.
c. Mahabbah
Mahabbah secara literal mengandung beberapa pengertian sesuai dengan beberapa asal pengambilan katanya. Mahabbah berasal dari kata hibbah, yang berarti benih yang jatuh ke bumi, karena cinta adalah sumber kehidupan sebagaimana benih menjadi sumber tanaman.6
Menurut al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Yakni hati cenderung kepada Tuhan dan apa-apa yang berhubungan dengan-Nya tanpa usaha. Cinta, menurut pemuka sufi lain, adalah mengabdiankan diri kepada yang dicintainya. Ali al-Kattani juga memandang cinta sebagai menyukai kepada apa yang disenanginya dan apa-apa yang datang dari yang dikasihinya.
Mahabbah mempunyai tiga tingkatan:
1) Tingkatan pertama ini pada intinya mengandung 3 hal yakni:
- Mengerahkan ketaatan pada Allah dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
- Menyarahkan diri kepada sang kekasih secara total.
- Mengosongkan hati dari segala sesuatu yang dikasihi.
2) Tingkatan kedua
Adalah pandangan hati, keagungan, pengetahuan, dan kekuasaan-Nya. Itulah cinta orang yang jujur kepada Allah dan orang yang telah menemukan kebenaran dan pengetahuan sejati tentang Tuhan.
3) Tingkatan ketiga
Adalah orang yang bersikap benar kepada Allah (shiddiqun) dan orang yang mengenal Allah dengan mata hatinya (arifin).
d. Khawf
Khawf atau takut, adalah masalah yang berkaitan dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa takut jika apa yang dibenci tiba dan yang dicintai sirna. Dan kenyataan itu hanya terjadi di masa mendatang.
Ibnu Qoyyim memandang khawf sebagai perasaan bersalah dakam setiap tarikan nafas. Perasan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari manuju Allah. Untuk memunculkan rasa bersalah seseorang harus mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukan sambil merasa khawatir kalau-kalau Allah tidak mengampuninya, khawatir kalau-kalau masih tergoda setan dalam setiap desahan nafasnya. Dengan perasaan seperti ini sang sufi akan berusaha agar sikap dan perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah.
Dalam pandangan al-Sarraj, khawf (takut) senantiasa bergandengan dengan mahabbah (cinta). Keduanya tidak bisa dipisahkan dan masih dalam bingkai qurb (kedekatan). Qurb membutuhkan dua kondisi. Pertama, dalam hati sang hamba yang dominan adalah rasa takutnya. Kedua, dalam hati sang hamba yang dominan adalah rasa cintanya. Hal itu terjadi karena Allah memberikan kepada hati sebuah kepercayaan, keyakinan yang kuat, dan rasa takut kepada Allah. Khawf itu menurut al-Sarraj dibagi menjadi menjadi tiga tingkatan:
1) Takutnya orang awam
2) Takutnya orang-orang pertengahan
3) Takutnya kaum khusus
Khawf berkaitan dengan raja’. Seorang hamba yang dekat dan intim dengan Allah akan merasa ketakutan yang luar biasa kepada-Nya. Takut akan ancaman dan siksa-Nya, takut berpisah, dijauhi oleh-Nya, sehingga teputus dari rahmat-Nya dan hilang rasa nikmat bersama-Nya. Namun pada bersamaan sang hamba juga merasakan raja’, harapan yang besar akan limpahan dan ampunan, kasih sayang, dan karunia Allah.7
e. Raja’
Raja’ atau harapan menurut al-Qusyairi adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa yang akan datang, seperti halnya takut juga berkaitan dengan apa yang akan terjadi di masa datang. Hati menjadi hidup oleh harapan-harapan akan lenyapnya beban di hati. Harapan adalah melihat kegemilangan Ilahi dengan mata keindahan. Harapan adalah kedekatan hati kepada kemurahan Tuhan. Harapan berarti melihat pada kasih sayang Allah Yang Maha Meliputi.
Al-Ghazal memandang Raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu Sang Kekasih datnag kepadanya. Khawf dan Raja’ adalah dua kata yang senantiasa bergandengan dan tidak akan terputus, jika terputus bukan khawf dan raja’ namanya. Jika seseorang berkata, “Aku berharap terbitnya matahari disaat terbit dan aku takut terbenamnya disaat terbenam”, ucapan itu menurut al-Ghazali bukanlah khawf dan raja’ karena ada yang terputus. Tapi jika ada yang mengatakan, “ aku berharap turun hujan dan aku takut berhentinya”, itulah ucapan yang menunjukkan keterpautan khawf dan raja’.
Dalam pandangan al-Sarraj, raja’ merupakan hal yang mulia. Menurut al-Sarraj raja’ terdiri atas tiga bagian:
1) Raja’ bersama Allah (fi Allah)
2) Raja’ did lam luasnya rahmat Allah (fi sa’ati rahmat Allah)
3) Raja’ di dalam pahala Allah (fi tsawab Allah)
f. Syawq
Secara literal syawq berarti lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Menurut Suhrawardi, syawq merupakan bagian-bagian dari mahabbah, seperti halnya zuhud bagian dari tobat. Jika mahabbah sudah mantap akan tampak pula syawq. Menurut Abu Ustman siapa yang cinta kepada Allah dia akan merindu hendak berjumpa dengan-Nya.
Jika sang hamba sudah sampai derajat syawq ini ini mati rasanya mudah dan ringan kerena kerinduan kepada Tuhannya dan harapan hendak berjumpa dengan-Nya. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang dan bergairah akan melahirkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu. Rindu ingin bertemu, hasrat akan selalu bergelora agar selalu bersama Dia. Di setiap senyutan jantung, detak kalbu, dan desah nafas, serta ingatan hanya kepada Allah, itulah syawq (rindu).
Menurut al-Sarraj orang yang merindu itu terbagi atas tiga golongan:
1) Pertama adalah mereka yang merindu kepada janji Allah atas para kekasih-Nya tentang pahala, karamah, keutamaan, dan keridhaan-Nya.
2) Kedua, mereka yang rindu kepada kekasihnya karena cintanya yang mendalam dan bersemayamnya rindu itu hendak bertemu dengan kekasihnya.
3) Ketiga, mereka menyaksikan kedekatan Allah terhadap dirinya. Allah senantiasa hadir tidak pernah pergi, maka hatinya merasa senang walaupun hanya menyebut nama-Nya saja.
g. ‘Uns
Dalam tasawuf ‘uns berarti keakraban atau keintiman. Menurut Abu Sa’id al-Kharraj ‘Uns adalah perbincangan roh dengan Sang Kekasih pada kondisi yang sangat dekat. Dzunun memandang ‘Uns sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pecinta terhadap kekasihnya. Salah seorang pemuka tabi’in menulis surat kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Hendaknya keakrabanmu hanya kepada Allah semata dan putuskan hubungan selain dengan-Nya”. Menurut al-Sarraj, ‘Uns bersama Allah bagi seorang hamba adalah ketika sempurna kesuciannya dan benar-benar bening zikirnya serta terbebas dari segala sesuatu yang menjauhkannya dari Allah.
Orang-orang yang intim itu terbagi atas tiga tingkatan:
1) Pertama, mereka yang merasa intim dengan sebab zikir dan jauh dari kelalaian, merasa intim dengan sebab ketaatan dan jauh dari dosa.
2) Kedua, ketika sang hamba sudah sedemikian intim bersama Allah dan jauh dari apapun selain-Nya, yakni pengingkaran-pengingkaran dan bisikan-bisikan yang menyibukkannya.
3) Ketiga adalah hilangnya pandangan tentang ‘Uns karena ada rasa segan, kedekatan dan keagungan bersama ‘Uns itu sendiri. Maksudnya sang hamba sudah tidak melihat ‘Uns itu sendiri.
h. Thuma’ninah
Secara literal, thuma’ninah berarti tenang tenteram, tidak ada perasaan khawatir atau was-was, ak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, kerena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Thum’ninah bagi sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya, bersih ingatannya dan kokoh realitasnya (haqiqat).
Thuma’ninah terbagi atas tiga bagian:
1) Pertama adalah kaum awam. Mereka merasa terang jika menyebut-Nya.
2) Kedua, kelompok khusus. Mereka tenang karena rela dengan ketetapan-Nya, sabar dengan musibah-Nya, bertaqwa, ikhlas dan damai.
3) Ketiga, kelompok intimewa (khusus al khusus) mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia yang ada pada mereka tidak akan mampu membuat tenang kepada-Nya, karena rasa agung dan segan yang hinggap di hati mereka. Menurut mereka, Allah tidak memiliki akhir yang mungkin dicapai.
i. Musyahadah
Dalam persepektif tasawuf, musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat-Nya dengan mata kepala. Hal ini berarti bahwa dalam tasawuf, seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Sehingga boleh jadi, hanya bagi mereka, Tuhan itu dapat dilihat. Hal ini misalnya tertera dalam permohonan Nabi Musa as untuk melihat Tuhan, “Maka berkata: Ya Tuhanku perlihatkanlah (dirimu) kepadaku, agar aku dapat melihat-Mu” (QS. Al-Khaf:143). Para sufi juga meyakini bahwa nabi Muhammad SAW dapat melihat Tuhan ketika melakukan mi’raj.
Hal musyahadah ini dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan seorang hamba dengan Allah. Manurut al-Sarraj ahli musyahadah terbagi atas tiga tingkatan:
1) Tingkat pertama, adalah kelompok al-Ashagir (pemula), yakni mereka yang berkehendak.
2) Tingkat kedua, kelompok pertengahan (al-Aswath). Dalam pandangan kelompok ini musyahadah berari bahwa ciptaan ada pada genggaman Yang Haq, dan pada kerajaan-Nya.
3) Tingkat ketiga seperti yang diterangkan al-Makki, hati kaum arifin ketika menyaksikan Allah sesungguhnya menyaksikan dengan kesaksian yang kokoh.
j. Yakin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, tertanamlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap. Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung, otulah yang disebut dengan al-Yakin. Yakin adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki, kerana ia sendiri menyaksikannya dengan segenap jiwanya.
C. Kecimpulan
Meski para sufi berbeda pendapat mengenai pengertian ahwal secara luas, perlu dipertegas di sini bahwa menurut al-Sarraj hal adalah anugerah (mawahibah) Allah yang diberikan kepada sang hamba sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya di dalam menempuh maqamat. Maqam diusahakan, sementara hal tidak. Maqam sifatnya tetap dan permanen, sedangkan hal tidak tetap, datang dan pergi.
Dalam macamnya, terdapat beberapa macam Ahwal yang diantaranya Muraqabah, Qurb, Mahabbah, Khawf, Raja’, Syawq, ‘Uns, Thuma’ninah, Musyahadah, Yaqin yang dimana pada setiap macamnya memiliki tingkatan masing-masing.
Footnote:
1. Mulyadi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf. Erlangga. Jakarta. 2006. Hal. 180-182
2. Haidar Bagir. Buku Saku Tawasuf. Mizan. Bandung. 2006. Hal. 133
3. Amatullah Amstrong. Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Pustaka Sufi. Yogyakarta. 2003. Hal 22
4. Syekh Fadhlalla Haeri. Dasar-Dasar Tasawuf. Pustaka Sufi. Yogyakarta. 2003
5. Abudin Nata. Akhlak Tasawuf. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
6. Ibib, hal
7. Media Zainul Bahri. Menembus Tirai Kesendirian-Nya: Mengurai Maqamat dan Ahwal dalam Tradisi Sufi. Prenada Media. Jakarta. 2005 hal 44
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata. Akhlak Tasawuf. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Amatullah Amstrong. Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Pustaka Sufi. Yogyakarta. 2003
Haidar Bagir. Buku Saku Tawasuf. Mizan. Bandung. 2006
Media Zainul Bahri. Menembus Tirai Kesendirian-Nya: Mengurai Maqamat dan Ahwal dalam Tradisi Sufi. Prenada Media. Jakarta. 2005
Mulyadi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf. Erlangga. Jakarta. 2006
Syekh Fadhlalla Haeri. Dasar-Dasar Tasawuf. Pustaka Sufi. Yogyakarta. 2003
A. Pendahuluan
Dalam pembicaraan tentang terakat sebagai perjalanan spiritual kita tidak bisa mengabaikan dua istilah teknis yang penting. Yaitu “maqamat dan ahwal”. Adapun ahwal merupakan bentuk jamak dari “hal” yang biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.
Sekalipun sama-sama dialami dan dicapai selama masa perjalanan spiritual seorang sufi menuju Tuhannya, namun menurut para sufi ada perbedaan yang mendasar antara maqamat dan ahwal, baik dari cara mendapatkannya maupun kelangsungannya. Ahwal sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Di antara ahwal yang sering disebut adalah takut, syukur, rendah hati, taqwa, ikhlas, gembira. Meskipun ada perdebatan di antara para penulis tasawuf, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan dan berlangsung sebentar dan diperoleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-kilatan ilahi yang biasa disebut “lama’at”.1
B. Pembahasan
1. Definisi Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal. Seperti halnya maqam, hal (state) digunakan kaum sufi untuk menunjukkan kondisi spiritual. Kata hal dalam perspektif tasawuf sering diartikan dengan “keadaan”, maksudnya adalah keadaan atau kondisi spiritual. Hal, sebagai suatu kondisi yang singgah dalam kolbu merupakan efek dari peningkaan maqamat seseorang.2
Secara lebih jauh al-Qusyairi melihat bahwa hal merupakan arti yang intuitif dalam hati, tanpa adanya unsur sengaja. Usaha menarik, dan usaha lainnya, dari rasa senang atau sedih, leluasa atau tergenggang, rindu atau brontak, rasa takut atau suka cita. Maka setiap hal, kata al-Qusyairi merupakan karunia (mawahib), dan setiap maqam adalah upaya (maqasib). Hal, datang dari wujud itu sendiri, sedang maqam diperoleh melalui upaya perjuangan.
Hal adalah keadaan-keadaan spiritual. Ini adalah anugerah dan karunia Allah kepada penempuh jalan spiritual.3 Ibnu Arabi menyebut hal adalah setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu yang lain, seperti kemabukan, fana’ (hilang kesadaran diri), ketidakhadiran dan ridha, eksistensinya tergantung pada sebuah kondisi. Ia menjadi sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada.
Al-Ghazali menyatakan, apabila seseorang telah tetap dan mantap dalam suatu maqam, ia akan memperoleh suatu perasaan tertentu, dan itulah hal. Hal Nampak cepat berubah. Ia mencontohkan dalam warna kuning yang dapat dibagi dua bagian. Warna kuning yang tetap, seperti warna kuning yang ada pada emas dan warna kuning yang cepat berubah yakni warna kuning yang ada pada sakit kuning. Begitu pula perasaan, kondisi dan sifat hati. Kadangkala mempunyai sifat tetap dan mempunyai sifat berubah. Kondisi, sifat dan perasaan hati yang tetap disebut maqam dan yang mempunyai sifat berubah dinamakan hal.
Abdullah ibn ‘Alaawy al-Haddad mempunyai pandangan yang berbeda dengan pandangan para sufi di atas. Menurut al-Haddad, ahwal adalah suatu kondisi batin yang dialami seorang sufi dalam keadaan belum mantap, kemudian ketika kondisi batin itu telah mantap maka disebutlah maqam. Ahwal, dalam pandangan al-Haddad dapat diperoleh seseorang karena pengaruh dari ilmu, sebab ilmu dapat membuahkan hal dan hal menghadirkan maqam.
Mayoritasa kaum sufi membedakan antara maqam dan hal secara literal. Hal disebut demikian karena berubah-ubahnya (li-tahawwulihi), sedang maqam dinamakan demikian karena keadaannya tetap dan permanen (li tsubutihi wa istiqrarihi). Dengan demikian maqam adalah tetap sedang hal senantiasa berubah.4
2. Macam-macam Ahwal
a. Muraqabah
Secara literal, muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Sedang secara terminologis, berarti melestarikan pengamatan kepada Allah dengan hatinya. Sehingga manusia mengamati pekerjaan dan hukum-hukumnya, dan dengan penuh perasaan-Nya. Allah melihat dirinya dalam gerak dan diam-Nya.5
Menurut al-Qusyairi, muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinya. Sang hamba hanya akan sampai kepada muraqabah ini setelah sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinya sendiri mengenai apa yang telah terjadi dimasa lampau, memperbaiki keadaannya di masa kini, tetap teguh di jalan dengan benar, memperbaiki hubungannya dengan Allah sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat senantiasa ingat kepada Allah, taat kepada-Nya dalam segala kondisi. Baru setelah ini, semua dilakukan, Allah melihat perbuatannya dan mendengar perkataannya.
Muraqabah menurut al-Sarraj, adalah kesadaran rohani sang hamba bahwa Allah senantiasa mengawasinya. Menurut al-Sarraj, ahli muraqabah itu dalam muraqabahnya terbagi ats tiga tingkatan:
1) Tingkatan Pertama
Adalah tingkatan ibtida’. Kelompok ini seperti yang disebut Hasan ibn ‘Ali al-Damaghani bahwa bagi sang hamba hendaknya senantiasa menjaga rahasia-rahasia hati karena Allah selalu mengawasi setiap apa-apa yang tersirat dalam batin.
2) Tingkatan Kedua
Dalam muraqabah ini ditunjukkan oleh ibn ‘Atha yang mengatakan, “sebaik-baik kalian adlah yang senantiasa mengawasi Yang Haq di dalam fana’ kepada selain yang haq dan senaniasa mengikuti Nabi Muhammad SAW dalam perbuatan, akhlak dan adabnya. Artinya, sang hamba memiliki kesadaran penuh bahwa sebaik pengawasan adalah pengawasan Allah tidak sedikitpun terbesit adanya pengawasan yang lain, dan bagi hamba hendaknya ia lebur bersama-Nya.
3) Tingkatan Ketiga
Dari ahli muraqabah adalah hal al kubara’ (orang-orang agung), yakni mereka yang senantiasa mengawasi Allah dan meminta kepada-Nya untuk menjaga mereka dalam muraqabah dan Allah sendiri sudah menjamin secara khusus hamba-hamba-Nya yang mulia itu untuk tidak mempercayakan mereka dan segala kondisi mereka kepada selain diri-Nya dan hanya Allah saja yang melindungi mereka.
b. Qurb
Secara literal, qurb berarti dekat darinya dan kepadanya. Menurut al-Saqathi, qurb (mendekatkan diri kepada Allah) adalah taat kepada-Nya. Sementara Ruwaym ibn Ahmad ketika ditanya tentang qurb, menjawab “menghilangkan setiap hal yang merintangi dirimu untuk bersama-Nya”.
Dalam pandangan al-Sarraj, qurb adalah penyaksian sang hamba dengan hatinya akan kedekatan Allah kepadanya, maka ia mendekat kepada Allah dengan ketaatannya, dan mengerahkan segala keinginannya kepada Allah semata dengan cara mengingatnya secara kontinu baik pada keramaian maupun dikala sendiri.
Menurut al-Sarraj, Qurb ada tiga tingkatan yaitu:
1) Tingkatan pertama dari tiga tingkatan orang-orang mendekat kepada Allah adalah orang-orang yang berjuang mendekati Allah dengan berbagai macam ketaatan karena merka memiliki pengetehuan yang diberikan oleh Allah, mengetahui kedekatan dan kekuasaan Allah kepada mereka.
2) Tingkatan kedua adalah orang yang sudah sempurna dengan keadaan tingkat pertama. Artinya dengan ketaatan dan illmunya tentang Allah ia yakin merasa melihat dan dekat kepad Allah.
3) Tingkatan ketiga adalah kelompok kaum agung dan kaum akhir (hal al-Kubara wa ahl al-Nihayah). Kondisi qurb mereka seperti yang diceritakan oleh Husyan an-Nuri. Ia menjelaskan dalam pandangan kaum sufi, teman sejati adalah Allah dan bukan yang lain. Kedekatan kepada Allah jauh lebih baik daripada kedekatan sepasang sahabat. Dan kedekatan sepasang sahabat boleh jadinya itu artinya semakin jauhnya hamba dari Allah.
c. Mahabbah
Mahabbah secara literal mengandung beberapa pengertian sesuai dengan beberapa asal pengambilan katanya. Mahabbah berasal dari kata hibbah, yang berarti benih yang jatuh ke bumi, karena cinta adalah sumber kehidupan sebagaimana benih menjadi sumber tanaman.6
Menurut al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Yakni hati cenderung kepada Tuhan dan apa-apa yang berhubungan dengan-Nya tanpa usaha. Cinta, menurut pemuka sufi lain, adalah mengabdiankan diri kepada yang dicintainya. Ali al-Kattani juga memandang cinta sebagai menyukai kepada apa yang disenanginya dan apa-apa yang datang dari yang dikasihinya.
Mahabbah mempunyai tiga tingkatan:
1) Tingkatan pertama ini pada intinya mengandung 3 hal yakni:
- Mengerahkan ketaatan pada Allah dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
- Menyarahkan diri kepada sang kekasih secara total.
- Mengosongkan hati dari segala sesuatu yang dikasihi.
2) Tingkatan kedua
Adalah pandangan hati, keagungan, pengetahuan, dan kekuasaan-Nya. Itulah cinta orang yang jujur kepada Allah dan orang yang telah menemukan kebenaran dan pengetahuan sejati tentang Tuhan.
3) Tingkatan ketiga
Adalah orang yang bersikap benar kepada Allah (shiddiqun) dan orang yang mengenal Allah dengan mata hatinya (arifin).
d. Khawf
Khawf atau takut, adalah masalah yang berkaitan dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa takut jika apa yang dibenci tiba dan yang dicintai sirna. Dan kenyataan itu hanya terjadi di masa mendatang.
Ibnu Qoyyim memandang khawf sebagai perasaan bersalah dakam setiap tarikan nafas. Perasan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari manuju Allah. Untuk memunculkan rasa bersalah seseorang harus mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukan sambil merasa khawatir kalau-kalau Allah tidak mengampuninya, khawatir kalau-kalau masih tergoda setan dalam setiap desahan nafasnya. Dengan perasaan seperti ini sang sufi akan berusaha agar sikap dan perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah.
Dalam pandangan al-Sarraj, khawf (takut) senantiasa bergandengan dengan mahabbah (cinta). Keduanya tidak bisa dipisahkan dan masih dalam bingkai qurb (kedekatan). Qurb membutuhkan dua kondisi. Pertama, dalam hati sang hamba yang dominan adalah rasa takutnya. Kedua, dalam hati sang hamba yang dominan adalah rasa cintanya. Hal itu terjadi karena Allah memberikan kepada hati sebuah kepercayaan, keyakinan yang kuat, dan rasa takut kepada Allah. Khawf itu menurut al-Sarraj dibagi menjadi menjadi tiga tingkatan:
1) Takutnya orang awam
2) Takutnya orang-orang pertengahan
3) Takutnya kaum khusus
Khawf berkaitan dengan raja’. Seorang hamba yang dekat dan intim dengan Allah akan merasa ketakutan yang luar biasa kepada-Nya. Takut akan ancaman dan siksa-Nya, takut berpisah, dijauhi oleh-Nya, sehingga teputus dari rahmat-Nya dan hilang rasa nikmat bersama-Nya. Namun pada bersamaan sang hamba juga merasakan raja’, harapan yang besar akan limpahan dan ampunan, kasih sayang, dan karunia Allah.7
e. Raja’
Raja’ atau harapan menurut al-Qusyairi adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa yang akan datang, seperti halnya takut juga berkaitan dengan apa yang akan terjadi di masa datang. Hati menjadi hidup oleh harapan-harapan akan lenyapnya beban di hati. Harapan adalah melihat kegemilangan Ilahi dengan mata keindahan. Harapan adalah kedekatan hati kepada kemurahan Tuhan. Harapan berarti melihat pada kasih sayang Allah Yang Maha Meliputi.
Al-Ghazal memandang Raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu Sang Kekasih datnag kepadanya. Khawf dan Raja’ adalah dua kata yang senantiasa bergandengan dan tidak akan terputus, jika terputus bukan khawf dan raja’ namanya. Jika seseorang berkata, “Aku berharap terbitnya matahari disaat terbit dan aku takut terbenamnya disaat terbenam”, ucapan itu menurut al-Ghazali bukanlah khawf dan raja’ karena ada yang terputus. Tapi jika ada yang mengatakan, “ aku berharap turun hujan dan aku takut berhentinya”, itulah ucapan yang menunjukkan keterpautan khawf dan raja’.
Dalam pandangan al-Sarraj, raja’ merupakan hal yang mulia. Menurut al-Sarraj raja’ terdiri atas tiga bagian:
1) Raja’ bersama Allah (fi Allah)
2) Raja’ did lam luasnya rahmat Allah (fi sa’ati rahmat Allah)
3) Raja’ di dalam pahala Allah (fi tsawab Allah)
f. Syawq
Secara literal syawq berarti lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Menurut Suhrawardi, syawq merupakan bagian-bagian dari mahabbah, seperti halnya zuhud bagian dari tobat. Jika mahabbah sudah mantap akan tampak pula syawq. Menurut Abu Ustman siapa yang cinta kepada Allah dia akan merindu hendak berjumpa dengan-Nya.
Jika sang hamba sudah sampai derajat syawq ini ini mati rasanya mudah dan ringan kerena kerinduan kepada Tuhannya dan harapan hendak berjumpa dengan-Nya. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang dan bergairah akan melahirkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu. Rindu ingin bertemu, hasrat akan selalu bergelora agar selalu bersama Dia. Di setiap senyutan jantung, detak kalbu, dan desah nafas, serta ingatan hanya kepada Allah, itulah syawq (rindu).
Menurut al-Sarraj orang yang merindu itu terbagi atas tiga golongan:
1) Pertama adalah mereka yang merindu kepada janji Allah atas para kekasih-Nya tentang pahala, karamah, keutamaan, dan keridhaan-Nya.
2) Kedua, mereka yang rindu kepada kekasihnya karena cintanya yang mendalam dan bersemayamnya rindu itu hendak bertemu dengan kekasihnya.
3) Ketiga, mereka menyaksikan kedekatan Allah terhadap dirinya. Allah senantiasa hadir tidak pernah pergi, maka hatinya merasa senang walaupun hanya menyebut nama-Nya saja.
g. ‘Uns
Dalam tasawuf ‘uns berarti keakraban atau keintiman. Menurut Abu Sa’id al-Kharraj ‘Uns adalah perbincangan roh dengan Sang Kekasih pada kondisi yang sangat dekat. Dzunun memandang ‘Uns sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pecinta terhadap kekasihnya. Salah seorang pemuka tabi’in menulis surat kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Hendaknya keakrabanmu hanya kepada Allah semata dan putuskan hubungan selain dengan-Nya”. Menurut al-Sarraj, ‘Uns bersama Allah bagi seorang hamba adalah ketika sempurna kesuciannya dan benar-benar bening zikirnya serta terbebas dari segala sesuatu yang menjauhkannya dari Allah.
Orang-orang yang intim itu terbagi atas tiga tingkatan:
1) Pertama, mereka yang merasa intim dengan sebab zikir dan jauh dari kelalaian, merasa intim dengan sebab ketaatan dan jauh dari dosa.
2) Kedua, ketika sang hamba sudah sedemikian intim bersama Allah dan jauh dari apapun selain-Nya, yakni pengingkaran-pengingkaran dan bisikan-bisikan yang menyibukkannya.
3) Ketiga adalah hilangnya pandangan tentang ‘Uns karena ada rasa segan, kedekatan dan keagungan bersama ‘Uns itu sendiri. Maksudnya sang hamba sudah tidak melihat ‘Uns itu sendiri.
h. Thuma’ninah
Secara literal, thuma’ninah berarti tenang tenteram, tidak ada perasaan khawatir atau was-was, ak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, kerena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Thum’ninah bagi sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya, bersih ingatannya dan kokoh realitasnya (haqiqat).
Thuma’ninah terbagi atas tiga bagian:
1) Pertama adalah kaum awam. Mereka merasa terang jika menyebut-Nya.
2) Kedua, kelompok khusus. Mereka tenang karena rela dengan ketetapan-Nya, sabar dengan musibah-Nya, bertaqwa, ikhlas dan damai.
3) Ketiga, kelompok intimewa (khusus al khusus) mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia yang ada pada mereka tidak akan mampu membuat tenang kepada-Nya, karena rasa agung dan segan yang hinggap di hati mereka. Menurut mereka, Allah tidak memiliki akhir yang mungkin dicapai.
i. Musyahadah
Dalam persepektif tasawuf, musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat-Nya dengan mata kepala. Hal ini berarti bahwa dalam tasawuf, seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Sehingga boleh jadi, hanya bagi mereka, Tuhan itu dapat dilihat. Hal ini misalnya tertera dalam permohonan Nabi Musa as untuk melihat Tuhan, “Maka berkata: Ya Tuhanku perlihatkanlah (dirimu) kepadaku, agar aku dapat melihat-Mu” (QS. Al-Khaf:143). Para sufi juga meyakini bahwa nabi Muhammad SAW dapat melihat Tuhan ketika melakukan mi’raj.
Hal musyahadah ini dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan seorang hamba dengan Allah. Manurut al-Sarraj ahli musyahadah terbagi atas tiga tingkatan:
1) Tingkat pertama, adalah kelompok al-Ashagir (pemula), yakni mereka yang berkehendak.
2) Tingkat kedua, kelompok pertengahan (al-Aswath). Dalam pandangan kelompok ini musyahadah berari bahwa ciptaan ada pada genggaman Yang Haq, dan pada kerajaan-Nya.
3) Tingkat ketiga seperti yang diterangkan al-Makki, hati kaum arifin ketika menyaksikan Allah sesungguhnya menyaksikan dengan kesaksian yang kokoh.
j. Yakin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, tertanamlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap. Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung, otulah yang disebut dengan al-Yakin. Yakin adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki, kerana ia sendiri menyaksikannya dengan segenap jiwanya.
C. Kecimpulan
Meski para sufi berbeda pendapat mengenai pengertian ahwal secara luas, perlu dipertegas di sini bahwa menurut al-Sarraj hal adalah anugerah (mawahibah) Allah yang diberikan kepada sang hamba sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya di dalam menempuh maqamat. Maqam diusahakan, sementara hal tidak. Maqam sifatnya tetap dan permanen, sedangkan hal tidak tetap, datang dan pergi.
Dalam macamnya, terdapat beberapa macam Ahwal yang diantaranya Muraqabah, Qurb, Mahabbah, Khawf, Raja’, Syawq, ‘Uns, Thuma’ninah, Musyahadah, Yaqin yang dimana pada setiap macamnya memiliki tingkatan masing-masing.
Footnote:
1. Mulyadi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf. Erlangga. Jakarta. 2006. Hal. 180-182
2. Haidar Bagir. Buku Saku Tawasuf. Mizan. Bandung. 2006. Hal. 133
3. Amatullah Amstrong. Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Pustaka Sufi. Yogyakarta. 2003. Hal 22
4. Syekh Fadhlalla Haeri. Dasar-Dasar Tasawuf. Pustaka Sufi. Yogyakarta. 2003
5. Abudin Nata. Akhlak Tasawuf. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
6. Ibib, hal
7. Media Zainul Bahri. Menembus Tirai Kesendirian-Nya: Mengurai Maqamat dan Ahwal dalam Tradisi Sufi. Prenada Media. Jakarta. 2005 hal 44
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata. Akhlak Tasawuf. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Amatullah Amstrong. Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Pustaka Sufi. Yogyakarta. 2003
Haidar Bagir. Buku Saku Tawasuf. Mizan. Bandung. 2006
Media Zainul Bahri. Menembus Tirai Kesendirian-Nya: Mengurai Maqamat dan Ahwal dalam Tradisi Sufi. Prenada Media. Jakarta. 2005
Mulyadi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf. Erlangga. Jakarta. 2006
Syekh Fadhlalla Haeri. Dasar-Dasar Tasawuf. Pustaka Sufi. Yogyakarta. 2003
No comments:
Post a Comment