Wednesday, November 2, 2011

FUNGSI SOSIAL AGAMA

Sebagaimana institusi sosial lainnya, agama juga memiliki fungsi yang sangat urgen bagi masyarakat. Fungsi ini sangat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pemeliharaannya. Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor). Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat. 1. Fungsi Integratif Agama Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya konsep sakral yang melingkupi nilai-nilai keagamaan sehingga hal tersebut tidak mudah untuk dirubah dan memiliki otoritas yang kuat di masyarakat. Dengan mendasarkan pada perspektif fungsionalis, Thomas F. O’Dea mengungkapkan bahwa agama memiliki fungsi dalam menyediakan dua hal. Pertama, suatu cakrawala pandangan tentang dunia luar yang tidak terjangkau oleh manusia (beyond). Kedua, sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal diluar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia. Lebih jauh, dengan mendasarkan pada dua hal diatas, ia mengungkapkan enam fungsi agama sebagai berikut: a.) Agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia yang melibatkan takdir dan kesejahteraan, agama menyediakan sarana emosional penting yang membantu manusia dalam menghadapi ketidakpastian. b.) Agama menawarkan suatu hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara peribadatan, karenanya agama memberikan dasar emosional bagi rasa aman baru dan identitas yang lebih kuat ditengah kondisi ketidakpastian dan ketidakmungkinan yang dihadapi manusia. c.) Agama mensucikan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok diatas kepentingan individu dan disiplin kelompok diatas dorongan hati individu. Denagn demikian agama berfungsi untuk membantu pengendalian sosial, melegitimasi alokasi pola-pola masyarakat sehingga membantu ketertiban dan stabilitas. d.) Agama juga melakukan fungsi yang bertentangan dengan fungsi sebaliknya, yaitu memberikan standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang sudah terlembaga bisa dikaji kembali secara kritis sesuai dengan kebutuhan masyarakat, terutama agama yang menitikberatkan pada transendensi Tuhan dan pada masyarakat yang mapan. e.) Agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting. Melalui peranserta manusia dalam ritual agama dan do’a, mereka juga melakukan unsur-unsur signifikan yang ada dalam identitasnya. Dalam periode perubahan dan mobilitas sosial yang berlangsung cepat, sumbangan agama terhadap identitas menjadi semakin tinggi. Salah satu contoh tentang hal ini dikemukakan oleh Will Herberg melalui studinya tentang sosiologi agama Amerika di tahun 1950-an, dimana salah satu cara penting dimana orang Amerika membentuk identitasnya adalah dengan menjadi salah satu anggota dari “tiga agama demokrasi”, yaitu: Protestan, katholik, dan Yahudi. f.) Agama juga berperan dalam memacu pertumbuhan dan kedewasaan individu, serta perjalanan hidup melalui tingkat usia yang ditentukan oleh masyarakat. Dari keenam fungsi yang dijalankan oleh agama diatas, nampak bahwa agama memiliki peran yang urgen tidak hanya bagi individu tetapi sekaligus bagi masyarakat. Bagi individu, agamaberperan dalam mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menghibur ketika dilanda kecewa, memperkuat moral, dan menyediakan unsur-unsur identitas. Sedangkan bagi kehidupan bermasyarakat, agama berfungsi menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan mendukung pengendalian sosial, menopang nilai-nilai dan tujuan yang mapan, dan menyediakan sarana untuk mengatasi kesalahan dan keterasingan. 2. Fungsi Disintegratif Agama Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain. Pada bagian ini, pembicaraan tentang fungsi disintegratif agama akan lebih memfokuskan perhatian pada beberapa bentuk konflik sosial yang bersumber dari agama. Hendropuspito setidaknya mencatat empat bentuk konflik sosial yang bersumber pada agama, yaitu: a.) Perbedaan doktrin dan sikap mentalDalam konteks ini, konflik sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua kelompok agama yang berbeda, bukan hanya sebatas konstruksi khayal semata melainkan sebagai sebuah fakta sejarah yang seringkali masih terjadi hingga saat ini. Konflik yang muncul lebih banyak disebabkan oleh adanya perbedaan doktrin yang kemudian diikuti oleh sikap mental yang memandang bahwa hanya agama yang dianutnyalah yang memiliki kebenaran (claim of truth) sedangkan yang lain sesat, atau setidaknya kurang sempurna. Klaim kebenaran inilah yang menjadi sumber munculnya konflik sosial yang berlatarbelakang agama, terlebih pada umumnya klaim kebenaran diikuti oleh munculnya sikap kesombongan religius, prasangka, fanatisme, dan intoleransi. Sikap-sikap tersebut sedikit banyak telah menutup sisi rasional yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk membangun saling pengertian antar pemeluk agama. Seringkali sisi non-rasional dan supra-rasional, yang memegang peranan penting dalam agama, dijadikan sebagai senjata untuk menolak argumentasi rasional yang ada. Kenyataan inilah yang turut memberikan kontribusi akan eksistensi sikap-sikap tersebut. b.) Perbedaan suku dan ras pemeluk agama Meskipun tidak sedikit bukti yang menunjukkan bahwa agama memiliki peran dalam mempersatukan orang-orang yang memiliki perbedaan suku dan ras, namun kita juga tidak bisa membantah bahwa seringkali perbedaan suku dan ras menimbulkan konflik sosial. Apabila perbedaan suku dan ras saja telah cukup untuk memunculkan konflik sosial, maka masuknya unsur perbedaan agama tentunya akan semakin mempertegas konflik tersebut. Hal ini bisa kita lihat dari fakta sejarah bahwa bangsa kulit putih yang notabene beragama Kristen merasa menjadi bangsa pilihan yang ditugaskan untuk mempersatukan kerajaan Allah di dunia dengan menaklukkan bangsa lain yang non-Kristen. c.) Perbedaan tingkat kebudayaan Sebagai bagian dari kebudayaan, agama merupakan faktor penting bagi pembudayaan manusia khususnya, dan alam semesta pada umumnya. Peter Berger menjelaskan fenomena ini dengan menegaskan bahwa agama merupakan usaha manusiawi dengan mana suatu jagad raya ditegakkan. Dengan kata lain, agama adalah upaya menciptakan alam semesta dengan cara yang suci. Dengan kerangka pemikiran bahwa agama memainkan peran dominan dalam menciptakan masyarakat budaya dan melestarikan alam semesta maka munculnya ketegangan yang disebabkan karena perbedaan tingkat kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari peran agama dalam menyediakan nilai-nilai yang disatu sisi mendorong pertumbuhan pemikiran bagi perkembangan budaya dan disisi lain justru menghambat dan mengekang pemikiran tersebut. Dengan demikian, bagaimana pemeluk suatu agama dalam memahami serta menafsirkan ajaran-ajaran agamanya akan sangat menentukan kemajuan atau kemunduran masyarakat pemeluknya dalam menghadapi fenomena kehidupan sosial yang berubah dengan sangat cepat. Salah satu kajian fenomenal terhadap fenomena ini adalah apa yang diungkapkan secara panjang lebar oleh Max Weber tentang pengaruh protestantisme dalam mendorong munculnya kapitalisme. d.) Masalah mayoritas dan minoritas kelompok agama Dalam suatu masyarakat yang plural, masalah mayoritas dan minoritas seringkali menjadi faktor penyebab munculnya konflik sosial. Setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam melihat fenomena konflik mayoritas-minoritas, yaitu: (1) agama diubah menjadi suatu ideologi; (2) prasangka mayoritas terhadap minoritas atau sebaliknya; (3) mitos dari mayoritas. Sebagaimana yang biasa terjadi bahwa suatu kelompok agama yang mayoritas seringkali mengembangkan suatu bentuk ideologi yang bercampur dengan mitos yang penuh emosi sehingga sulit untuk dibedakan mana kepentingan politik dan mana kepentingan agama, telah menimbulkan suatu keyakinan bahwa kelompok mayoritas inilah yang memiliki wewenang untuk menjalankan segala aspek kehidupan di masyarakat. Kondisi seperti inilah yang pada akhirnya seringkali memunculkan prasangka dan tindakan sewenang-wenang terhadap kelompok minoritas yang akan bermuara pada timbulnya konflik sosial. Dari keempat bentuk konflik sosial yang bermuara pada permasalahan keagamaan diatas, kita bisa melihat bahwa betapa besar potensi konflik yang terkandung pada masalah-masalah keagamaan. Oleh karena itu, sudah selayaknya perhatian terhadap potensi konflik dari agama memperoleh perhatian serius, termasuk dari kalangan peneliti sosial keagamaan dalam memberikan gambaran yang lebih detail dan komprehensif tentang fenomena keagamaan dengan memilih perspektif sosiologis yang paling sesuai dengan permasalahan keagamaan yang dihadapi. Ketepatan memilih perspektif tentu saja akan mampu menghadirkan gambaran riil dari permasalahan yang ada sehingga harapan untuk memunculkan berbagai soslusi alternative bagi pemecahan masalah tersebut bisa lebih optimal. Fungsi ganda agama sebagaimana yang tergambar diatas setidaknya telah menunjukkan kepada kita bahwa fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah fenomena yang begitu dinamis, tidak hanya mencakup wilayah teologis, akan tetapi selalu melibatkan faktor-faktor lain seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh karena itu, disiplin ilmu sosiologi memiliki peluang yang cukup besar untuk menjadi perspektif utama dalam melihat fenomena keberagamaan secara ilmiah. Mengingat begitu pentingnya posisi disiplin ilmu sosiologi untuk mengungkapkan berbagai fenomena keagamaan secara akademik, maka pemahaman yang komprehensif tentang berbagai perspektif sosiologis yang ada menjadi suatu kebutuhan agar kita tidak terjebak hanya pada perspektif-perspektif umum yang ada. http://achmadarifin.multiply.com/journal/item/10

Tuesday, November 1, 2011

AGAMA DAN AKHLAK

Untuk menjadi sesuatu yang baik dan bermanfaat itu memang susahnya minta ampun. Berbagai faktor menjadi elemen pembangun agar semata-mata kebaikan dan kemanfaatannya benar-benar sempurna, mesti pintar-lah, yang rajin-lah, yang kreatif-lah, yang hemat-lah, yang dermawan-lah, yang bersahaja-lah, dan lain2. Adapun beragama dan berahlak adalah faktor mutlak yang harus dimiliki oleh sesorang. Seperti sebuah bangunan yang membutuhkan semen, bata, pasir, kayu, kapur, dan-lain2. Pastinya sebuah bangunan harus memiliki pondasi dan tiang menjulang untuk wahana berdirinya. Agama dan akhlak merupakan ibarat pondasi dan tiang penyangga sebuah bangunan. Agama adalah ibarat sebuah pondasi dasar sebuah bangunan. Pondasi yang kuat akan mampu menahan mobilitas yang terjadi baik di dalam sekitar bangunan atau yang datang dari luar sebuah bangunan. Jika pondasi kuat terjadi gempa-pun bangunan tak akan bergeming. Akhlak adalah ibarat tiang yang menjulang yang menyangga sebuah bangunan. Bagaimanapun model dan tipe bangunan akan berdiri kokoh jika tiang penyangganya kuat dan kokoh. Sebuah tenda yang hanya memiliki satu tiangpun akan dapat digunakan untuk tempat bernaung dengan baik asal tiang tersebut berdiri dengan kokoh. Agama mengajarkan akhlak. Seperti halnya pondasi yang menunjukkan dan menyiapkan letak-letak tiang penyangga. Melalui agama sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk diketahui. Melalui agama pula manfaat sesatu yang baik dan mudlorot sesuatu yang buruk diketahui. Maka dari itu, agama selalu memerintahkan untuk berakhlak. Berakhlak tentunya melakukan sesuatu yang baik karena sangat bermanfaat dan bukan melakukan sesuatu yang mudlorot yang tidak bermanfaat dan banyak merugikan diri. Tidak ada satupun agama yang benar yang mengajarkan sesuatu yang buruk dan banyak bernilai mudlorot. Dalam kitab Nashoikhul ‘Ibad disebutkan bahwa jika disebut manusia maka dia harus berakal. Sesuatu yang berakal pasti akan melakukan sesuatu yang baik sesuai dengan agama dan akhlak. Tidak mungkin sesuatu yang berakal akan melakukan sesuatu yang buruk, semisal minum miras dkk, dll. Karena mengkonsumsi miras dkk jelas-jelas merugikan diri. Jika kita memang sadar dengan akal kita untuk apa melakukan sesuatu hal yang justru akan menyakiti diri sendiri, sakit tidak hari ini mungkin besok. Sebaliknya jika tidak berakal maka gelar yang patut adalah manusia hewan. Hewan bisa berlaku apa saja tanpa dosa. Gonta ganti pasangan dengan seenaknya tanpa ada rasa bersalah. Akal adalah tirai besi yang membatasi antara manusia dan hewan, akal yang membedakan antara hewan dan manusia, dan akal-lah yang mengacu manusia berlaku dengan aturan. Aturan didasarkan pada agama dan akhlak. Kalo kita memang mengaku manusia seutuhnya maka sepatutnya kita beragama dan berakhlak. Dua perwujudan dalam melakoni agama dan akhlak, yaitu malaikat dan setan. Jika beragama dan berakhlak yang baik maka dominasi wujud kita adalah malaikat. Dan sebaliknya jika dominasi wujud kita adalah atheis dan a moral maka perwujudan kita adalah setan. Agama dan akhlak adalah dua momentum yang saling terkait. Agama merupakan wahana yang digunakan untuk selalu mendekatkan diri kepada Sang Kholiq dan akhlak menjadikan manusia akan mudah untuk ber-interaksi dengan lingkungan sosial. Seorang Lenin pencetus komunisme, Hitler dengan Nazi-nya, Musollini dengan fasisme-nya, dan lain-lain adalah orang-orang yang mempunyai intelektualitas tinggi. Mereka dikatakan keji dengan menanamkan paham mereka dengan paksaan. Tak segan-segan menghabisi nyawa orang lain tanpa ada rasa bersalah. Mereka berjalan pada poros yang salah karena Mereka tidak mengakui adanya Tuhan. Lain lagi dengan Mu’tazilah yang dicetuskan oleh Muawwiyah, Martin Luther yang berseberangan dengan Roma. Mereka mempunyai integritas tinggi dalam agama akan tetapi minim akhlak. Sehingga menjadikan mereka mempunyai anggapan bahwa orang lain selalu salah. Berinteraksi adalah sama halnya membuat dosa baru. Pemikiran yang dangkal dari akhlak. Untuk itu, agama dan akhlak haruslah berjalan selaras, habluminalloh wahabluminannas, agar hidup kita tentram dihadapan masyarakat dan terlebih dihadapan Allah SWT. Alaa bidzikrillahi Tathmainnul Qulub…

Sumber: http://opexart.blog.friendster.com/2008/10/agama-dan-akhlak/

Sahabat Ku