Friday, November 26, 2010

Sikap Pendidik dalam Menumbuhkan IQ, EQ dan SQ yang Baik kepada Peserta Didik

Sikap Pendidik dalam Menumbuhkan IQ, EQ dan SQ yang Baik kepada Peserta Didik
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebuah survei di AS pada 1918 mengenai IQ menemukan “paradoks” yang membahayakan: bagaimana skor IQ anak-anak makin tinggi, namun kecerdasan emosi mereka justru turun. Dan data hasil survei pada 1970 dan 1980 terhadap orang tua dan guru menunjukkan bahwa anak-anak generasi sekarang lebih sering mengalami masalah emosi dibanding generasi terdahulu. Mereka tumbuh dalam kesepian dan depresi, gampang marah, sulit diatur, cenderung cemas dan agresif.
Disinilah peran pendidik sangat diperlukan karena masih banya orang tua peserta didik yang menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab mendidik pada pendidik (guru). Pemerintah sering melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru, antara lain melalui seminar, pelatihan, dan loka karya, bahkan melalui pendidikan formal bahkan dengan menyekolahkan guru pada tingkat yang lebih tinggi. Kendatipun dalam pelakansaannya masih jauh dari harapan, dan banyak penyimpangan, namun paling tidak telah menghasilkan suatu kondisi yang menunjukkan bahwa sebagian guru memiliki ijazah perguruan tinggi.
Karena begitu pentingnya peran pendidik dalam lingkungan pendidikan yang nantinya mempengaruhi pertumbuhan seseorang (peserta didik), sehingga kualitas pendidik selalu diperhatikan. Oleh karena itu, saya merasa penting untuk mengangkat masalah tentang Bagaimana sikap pendidik dalam menumbuhkan keseimbangan IQ, EQ dan SQ pada peserta didik.
1.2 Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang tersebut, maka masalahnya akan dirumuskan secara terperinci. Adapun rumusan masalah penulisan adalah sebagai berikut.
1. Apa itu pendidik, peserta didik, IQ, EQ, dan SQ serta sikap ?
2. Apa pentingnya IQ, EQ dan SQ serta hubungan ketiganya ?
3. Bagaimana sikap pendidik dalam menumbuhkan keseimbangan IQ, EQ dan SQ pada peserta didik ?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mengenal Sikap, Pendidik, Peserta Didik, IQ, EQ, dan SQ
2.1.1 Pendidik
a. Pengertian Pendidik
Yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkunga yaitu lingkungankeluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masayarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, latihan, dan masyarakat.
b. Persyaratan dan Sifat Pendidik
Kecakapan dan pengetahuan dasar haruslah dimiliki oleh pendidik, sebagaimana disampaikan oleh Winarno Surachmad dengan mengadopsi istilah ‘guru’ sebagai berikut : (a) Pendidik harus mengenal peserta didik yang dipercayakan kepadanya, (b) memiliki kecakapan memberi bimbingan. (c) Memiliki dasar pengetahuan yang jelas tentang tujuan pendidikan di Indonesia pada umumnya sesuai dengan tahap-tahap pembangunan. (d) Pendidik harus memiliki pengetahuan yang bulat dan baru mengenai ilmu yang diajarkan.
Ada tiga persyaratan atau ciri dasar (sifat) yang selalu dapat dilihat pada setiap profesional yang baik mengenai etos kerjanya. Yaitu (1) Keinginan untuk menjungjung tinggi mutu pekerjaan (job quality); (2) Menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan; dan (3) Keinginan untuk memberikan layanan kepada masyarakat melalui karya profesionalnya.
c. Peran Pendidik
Peran pendidik dalam hubungannya dengan pengajaran, diantaranya yaitu pendidik sebagai ukuran kognitif, pendidik sebagai agen moral dan politik, pendidik sebagai agen moral dan politik.
Pendidik sebagai ukuran kognitif. Tugas pendidik umumnya adalah mewariskan pengetahuan berbagai keterampilan kepada generasi muda. Hal-hal yang akan diwariskan itu sudah tentu harus sesuai ukuran yang telah ditentukan masyarakat dan merupakan gambaran tentang keadaan sosial, ekonomi, dan politik. Karena itu pendidik harus mampu memenuhi ukuran kemampuan tersebut.
Pendidik sebagai agen moral dan politik. Pendidik bertindak sebagai agen moral masyarakat, karena fungsinya mendidik warga masyarakat agar melek huruf, pandai berhitung dan berbagai keterampilan kognitif lainnya. Keterampilan-keterampilan itu dipandang sebagai bagian dari proses moral, karena masyarakat yang telah pandai membaca dan pengetahuan, akan berusaha menghindari dari tindakan-tindakan kriminal dan menyimpang dari aturan masyarakat.
Pendidik sebagai innovator. Berkat kamajuan ilmu pengetahuan dan teknoligi, maka masyarakat senantiasa berubah dan berkembang dalam semua aspek. Perubahan dan perkembangan itu menuntut terjadinya inovasi pendidikan. Tanggung jawab melaksanakan inovasi itu diantaranya terletak pada penyelenggaraan pendidikan.
Peranan kooperatif dalam melaksanakan tugasnya pendidik tidak mungkin bekerjasama sendiri dan mengandalkan kemampuan diri sendiri. Karena itu para pendidik perlu bekerja sama antara sesama pendidik dan dengan pekerja-pekerja sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan dengan persatuan orang tua murid.
d. Tugas dan Tanggung Jawab Pendidik
Menurut Roestiyah N.K. yang dikutip oleh Djamarah bahwa pendidik dalam mendidik anak didik bertugas untuk:
1) Menyerahkan kebudayaan kepada anak didik berupa kepandaian, kecakapan dan pengalaman-pengalaman.
2) Membentuk kepribadian anak didik yang harmonis, sesuai cita-cita dan dasar negara kita pancasila.
3) Menyiapkan anak didik menjadi warga negara yang baik sesuai undang-undang pendidikan yang merupakan keputusan MPR No II Tahun 1983
4) Sebagai perantara dalam belajar
5) Pendidik sebagai pembimbing untuk membawa anak didik kedalam kearah kedewasaan, pendidik tidak maha kuasa, tidak dapat membentuk anak didik menurut sekehendaknya.
6) Pendidik sebagai penghubung antara sekolah dan masyarakat
7) Pendidik sebagai penegek disiplin.
8) Pendidik administrator dan manajer.
9) Pendidik sebagai suatu profesi.
10) Pendidik sebagai perencana kurikulum.
11) Pendidik sebagai pemimpin.
12) Pendidik sebagai sponsor kegiatan anak-anak.
2.1.2 Peserta Didik
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebutkan demikian oleh karena peserta didik adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya.
Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah:
a. Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik.
b. Individu yang sedang berkembang.
c. Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
d. Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.
2.1.3 Kecerdasan
a. Pengertian Kecerdasan
David Wechsler (1939) mendefinisikan kecerdasan sebagai kumpulan kapasitas seseorang untuk bereaksi serah dengan tujuan, berpikir rasional dan mengelola lingkungan secara efektif. Ia pula yang mengembangkan peranti tes kecerdasan individual bernama Wechsler Intelligence Scale, yang hingga saat ini masih digunakan dan dipercaya sebagai skala kecerdasan universal. Sebelumnya, JL Stockton (1921) mengatakan kecerdasan adalah kemampuan untuk mempengaruhi proses memilih yang berprinsip pada kesamaan (similarities).
Menurut Kamus Psikologi (2000) diuraikan :
a. Kemampuan menggunakan konsep abstrak.
b. Kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri dengan situasi baru.
c. Kemampuan mempelajari dan memahami sesuatu.
Gardener (2002) memaparkan pengertian kecerdasan (intelligen) mencakup tiga faktor :
a. Kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia.
b. Kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan.
c. Kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang akan memunculkan penghargaan dalam budaya seorang individu.
Intellegensi adalah keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara logis, terarah, serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif (Marten Pali, 1993).
Sehingga dari definisi-definisi di atas disimpulkan bahwa kecerdasan merupakan potensi dasar seseorang untuk berpikir, menganalisis dan mengelola tingkah lakunya di dalam lingkungan dan potensi itu dapat diukur.
b. Ciri-ciri Kecerdasan
Ciri-ciri kecerdasan meliputi cirri-ciri mendasar dan cirri-ciri perilaku intellegen. Ciri-ciri mendasar kecerdasan (intellegens) :
a. To judge well (dapat menilai).
b. To comprehend well (memahami secara menyeluruh).
c. To reason well (memberi alasan dengan baik).
Sedangkan ciri-ciri prilaku intellegen / cerdas :
a. Masalah yang dihadapi merupakan masalah baru bagi yang bersangkutan.
b. Serasi tujuan dan ekonomis (efesien).
c. Masalah mengandung tingkat kesulitan.
d. Keterangan pemecahannya dapat diterima.
e. Sering menggunakan abstraksi.
f. Bercirikan kecepatan.
g. Memerlukan pemusatan perhatian.
c. Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan
a. Pembawaan ; kapasitas / batas kesanggupan.
b. Kematangan ; telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya, erat kaitan dengan umur.
c. Pembentukan ; pengaruh dari luar.
d. Minat.
e. Kebebasan ; terutama dalam memecahkan masalah.
d. Pengukuran Taraf Kecerdasan
Salah satu uji kecerdasan yang diterima luas ialah berdasarkan pada uji psikometrik atau IQ. Pengukuran kecerdasan dilakukan dengan menggunakan tes tertulis atau tes tampilan (performance test) atau saat ini berkembang pengukuran dengan alat bantu komputer. Alat uji kecerdasan yang biasa di pergunakan adalah :
a. Stanford-Binnet intelligence scale
Wechsler scales yang terbagi menjadi beberapa turunan alat uji seperti WB (untuk dewasa), WAIS (untuk dewasa versi lebih baru), WISC (untuk anak usia sekolah) dan WPPSI (untuk anak pra sekolah)
b. IST
c. TIKI (alat uji kecerdasan Khas Indonesia)
d. FRT
e. PM-60, PM Advance
2.1.4 Intelectual Quotient (IQ)
a. Pengertian IQ
Orang sering kali menyamakan arti intelegensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti intelegensi (kecerdasan) sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian IQ hanya menggambarkan sedikt indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara menyeluruh.
Semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori Two Factor-nya, atau Thurstone (1938) dengan teori Primary Mental Abilities-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005).

Kecerdasan ini terletak di otak bagian Cortex (kulit otak). Kecerdasan ini adalah sebuah kecerdasan yang memberikan kita kemampuan untuk berhitung, bernalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi. Atau lebih tepatnya diungkapkan oleh para pakar psikologis dengan “What I Think“.
Meski sudah bertahun-tahun dunia akademik, dunia militer (sistem rekrutmen dan promosi personel militer) dan dunia kerja, menggunakan IQ sebagai standar mengukur kecerdasan seseorang. Selain hal di atas masalah IQ menjadi sorotan para ahli dan mereka mencatat sedikitnya ada dua kelemahan (bukan kesalahan) yang menuntut untuk diperbaruhi, yaitu:
a. Pemahaman absolut terhadap skor IQ .
Steve Hallam berpandangan, pendapat yang menyatakan kecerdasan manusia itu sudah seperti angka mati dan tidak bisa diubah, adalah tidak tepat. Penemuan modern menunjuk pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu hanya 42% yang dibawa dari lahir, sementara sisanya, 58% merupakan hasil dari proses belajar.
b. Cakupan kecerdasan manusia : kecerdasan nalar, matematika dan logika
Steve Hallam sekali lagi mengatakan bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat, sebab dewasa ini makin banyak pembuktian yang mengarah pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu bermacam-macam. Buktinya, Michael Jordan dikatakan cerdas selama berhubungan dengan bola basket. Mozart dikatakan cerdas selama berurusan dengan musik. Mike Tyson dikatakan cerdas selama berhubungan dengan ring tinju.
b. Ciri Khas IQ
Ciri khas IQ meliputi:
a. Logis
b. Rasional
c. Linier
d. Sistematis
c. Pengukuran atau Klasifikasi IQ
a. Very Superior : 130 –
b. Superior : 120 – 129
c. Brght normal : 110 – 119
d. Average : 90 – 109
e. Dull Normal : 80 – 89
f. Borderline : 70 – 79
g. Mental Defective : 69 ke bawah
2.1.5 Emotional Quotient (EQ)
a. Pengertian EQ
Kemampuan untuk mengenali perasaan sendiri, perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, mengelola emosi dengan baik, dan berhubungan dengan orang lain (Daniel Goldman).
Kemampuan mengerti dan mengendalikan emosi (Peter Salovely & John Mayer).
Kemampuan mengindra, memahami dan dengan efektif menerapkan kekuatan, ketajaman, emosi sebagai sumber energi, informasi, dan pengaruh (Cooper & Sawaf).
Bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial, dan adaptasi sosial (Seagel).
Sehingga dapat disimpulkan EQ adalah kemampuan untuk menyikapi pengetahuan-pengetahuan emosional dalam bentuk menerima, memeahami dan mengelola.
Kecerdasan ini di otak berada pada otak belakang manusia. Kecerdasan ini memang tidak mempunya ukuran pasti seperti IQ, namun kita bisa merasakan kualitas keberadaannya dalam diri seseorang. Oleh karena itu EQ lebih tepat diukur dengan feeling. Kecerdasan ini lebih tepat diungkapkan dengan “What I feel”.
b. Aspek dalam EQ
Menurut Salovely & Goldman aspek dalam EQ ada lima, yaitu:
a. Kemampuan mengenal diri (kesadaran diri).
b. Kemampuan mengelola emosi (penguasaan diri).
c. Kemampuan memotivasi diri.
d. Kemampuan mengendalikan emosi orang lain.
e. Kemampuan berhubungan dengan orang lain (empati).
c. Perilaku EQ yang Baik
Berikut adalah perilaku seseorang yang cerdas emosinya.
a. Menghargai emosi negative orang lain.
b. Sabar menghadapi emosi negative orang lain.
c. Sadar dan menghargai emosi diri sendiri.
d. Emosi negative untuk membina hubungan.
e. Peka terhadap emosi orang lain.
f. Tidak bingung menghadapi emosi orang lain.
g. Tidak menganggap lucu emosi orang lain.
h. Tidak memaksa apa yang harus dirasakan.
i. Tidak harus membereskan emosi orang lain.
j. Saat emosional adalah saat mendengatkan.
Sealin itu, orang yang memiliki EQ tinggi bersifat diantaranya:
a. Berempati.
b. Mengungkapkan dan memahami perasaan.
c. Mengendalikan amarah.
d. Kemandirian.
e. Kemampuan menyesuaikan diri.
f. Disukai.
g. Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi.
h. Ketekunan.
i. Kesetiakawanan.
j. Keramahan.
k. Sikap hormat.
2.1.6 Spiritual Quotient (SQ)
a. Pengertian SQ
Kecerdasan spiritual sering disebut SQ (Spiritual Quotient) penemunya Danah Zohar dan Lan Marshall, London, 2000) cenderung diperlukan bagi setiap hamba Tuhan untuk dapat berhubungan dengan Tuhannya. Melibatkan kemampuan, menghidupkan kebenaran yang paling dalam; artinya mewujudkan hal yang terbaik, untuk dan paling manusiawi dalam batin. Gagasan, energi, nilai, visi, dorongan, dan arah panggilan hidup, mengalir dari dalam dari suatu keadaan kesadaran yang hidup bersama cinta.
Dalam bukunya SQ, Dana Zohar tampak tidak memberikan batasan secara definitif, tetapi mereka memberikan penjelasan-penjelasan maupun berbagai gambaran yang semuanya berkaitan dengan esensi SQ. Dari penjelasan-penjelasan tersebut tampak bahwa pengarang sangat menekankan aspek nilai dan makna sebagai unsur penting dari kecerdasan spiritual.
“SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai”. (h.4)
‘‘SQ adalah kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya”. (h.4)
“Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain”. (h.4)
“Kecerdasan ini tidak hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, tetapi juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru”.
Kecerdasan spiritual adalah sumber yang mengilhami, menyemangati dan mengikat diri seseorang kepada nilai-nilai kebenaran tanpa batas waktu (Agus N. Germanto, 2001).
Paul Edwar; “SQ” adalah bukti ilmiah. Ini adalah benar ketika anda merasakan keamanan (secure), kedamaian (peace), penuh cinta (loved), dan bahagia (happy). Ketika dibedakan dengan suatu kondisi dimana anda merasakan ketidak amanan, ketidak bahagian, dan ketidak cintaan.
Victor Frank (Psikolog); Pencarian manusia akan makna hidup merupakan motivasi utamanya dalam hidup ini. Kearifan spiritual; adalah sikap hidup arif dan bijak secara spiritual, yang cenderung lebih bermakna dan bijak, bisa menyikapi segala sesuatu secara lebih jernih dan benar sesuai hati nurani kita, kecerdasan spiritual “SQ”.
Kecerdasan inilah yang menurut para pakar sebagai penentu kesuksesan seseorang. Kecerdasan ini menjawab berbagai macam pertanyaan dasar dalam diri manusia. Kecerdasan ini menjawab dan mengungkapkan tentang jati diri seseorang, “Who I am“. Siapa saya? Untuk apa saya diciptakan?
SQ berlandaskan pada kesadaran transcendental, bukan sekedar SQ pada tataran biologi dan psikologi. Menurut Roger Garaudy (1986: 256-267), dari perspektif syari’ah kesadaran transcendental mempunyai tiga unsur. Pertama, pengakuan tentang ketergantungan manusia kepada Tuhan. Kedua, adanya perbedaan yang mutlah antara Tuhan dan manusia. Ketiga, pengakuan tentang adanya norma-norma mutlak dari Tuhan yang tidak berasal dari manusia.
Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab (Sofyan S. Willis, 2005).
b. Perilaku SQ yang Baik
Menurut Dimitri Mahayana (Agus Nggermanto, 2001), ciri-ciri orang yang ber-SQ tinggi adalah :
a. Memiliki prinsip dan visi yang kuat.
b. Mampu melihat kesatuan dalam keanekaragaman.
c. Mampu memaknai setiap sisi kehidupan.
d. Mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan dan penderitaan.
Zohar dan Marshall memberikan gambaran bagaimana tanda-tanda orang yang memiliki SQ tinggi, yaitu :
a. kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif),
b. tingkat kesadaran yang tinggi,
c. kemampuan menghadapi dan memanfaatkan penderitaan,
d. kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa takut,
e. kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai,
f. keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu,
g. kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan holistik),
h. kecenderungan nyata untuk bertanya: “mengapa?” atau “bagaimana jika?” untuk mencari jawaban yang mendasar dan
i. pemimpin yang penuh pengabdian dan bertanggungjawab.
2.1.7 Sikap
a. Pengertian Sikap
Sikap merupakan suatu kecenderungan untuk mendekat atau menghindar, posotitif atau negative terhadap berbagai keadaan sosial, apakah itu institusi, pribadi, situasi, ide, konsep dan sebagainya (Howard dan Kendler, 1974; Gerungan, 2000).
Gagne (1974) mengatakan bahwa sikap merupakan suatu
keadaan internal (internal state) yang mempengaruhi pilihan tidakan
individu terhadap beberapa obyek, pribadi, dan peristiwa.
Menurut Bimo Walgito (1999:110) bahwa yang dimaksud sikap adalah : “sikap merupakan organisasi pendapat dan keyakinan seseorang terhadap suatu obyek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu sehingga memberikan dasar tertentu kepada individu untuk memberi respon/berperilaku dalam cara yang dipilihnya.”
Gerungan (2000:149) mengemukakan pendapatnya tentang sikap tersebut: “Pengertian Attitude dan diterjemahkan dengan kata sikap terhadap objek tertentu. Ia merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap objek yang tadi itu. Jadi attitude dapat diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan bereaksi terhadap suatu hal.”
Dari berbagai pendapat tentang sikap tersebut diatas, dapat diketahui bahwa sikap merupakan bentuk keyakinan seseorang atau kepercayaan seseorang terhadap suatu obyek atau situasi tertentu (aspek kognitif), yang disertai dengan perasaan positif atau negatif yang berupa rasa suka atau tidak suka, menerima atau menolak dan sebagainya (aspek afektif). Semua ini akan menimbulkan kecenderungan bagi seseorang untuk merespon atau bertindak terhadap objek tersebut (aspek konasi).
b. Komponen Sikap
Sarlito Wirawan (2002: 234) membagi sikap dalam 3 bagian (domain). Ketiga domain sikap itu adalah kognitif, afektif dan konatif. Bimo Walgito (1999:111) bahwa sikap mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap , yaitu;
1) Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal14 hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap objek sikap.
2) Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.
3) Komponen konatif (action component), yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa komponen sikap adalah sebagai berikut: Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa komponen sikap adalah sebagai berikut:
1) Komponen Kognitif yaitu seluruh pikiran, pengetahuan, kepercayaan seseorang mengenai objek sikap. Dengan menempuh mata kuliah bimbingan dan konseling keluarga maka mahasiswa mendapatkan pengetahuan, pandangan, keyakinan mengenai mata kuliah bimbingan dan konseling keluarga
2) Komponen Afektif yaitu seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap objek sikap. Setelah mahasiswa mendapatkan mata kuliah bimbingan dan konseling keluarga maka akan timbul perasaan senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju tentang mata kuliah bimbingan dan konseling keluarga.
3) Komponen Konatif yaitu kecenderungan untuk berperilaku atau merespon bila seseorang melihat objek sikap. Mahasiswa menunjukkan sikap yaitu besar/ kecilnya kecenderungan bertindak/ berperilaku terhadap mata kuliah bimbingan dan konseling keluarga. Komponen-komponen ini yang nantinya dijadikan sebagai pedoman dalam pembuatan kisi-kisi instrumen penelitian tentang sikap mahasiswa peserta mata kuliah bimbingan dan konseling keluarga.
2.2 Pentingnya IQ, EQ, dan SQ serta Hubungan Ketiganya
2.2.1 Pentingnya IQ
Dengan memiliki IQ yang baik dan terstandar maka masing-masing individu memiliki kemantapan pemahaman tentang potensi diri dan pengembangannya untuk kegiatan-kegiatan yang kreatif dan produktif dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk peranannya sebagai pelaksana / pelaku profesi.
2.2.2 Pentingnya EQ
Emotional Quotient (EQ) mempunyai peranan penting dalam meraih esuksesan pribadi dan profesional. EQ dianggap sebagai persyaratan bagi kesuksesan pribadi. Alasan utamanya adalah masyarakat percaya bahwa emosi-emosi sebagai masalah pribadi dan tidak memiliki tempat di luar inti batin seseorang juga batas-batas keluarga. Penting bahwa kita perlu memahami apa yang diperlukan untuk membantu kita membangun kehidupan yang positif dan memuaskan, karena ini akan mendorong mencapai tujuan-tujuan PROFESIONAL kita. Dr. DANIEL GOLEMAN memberikan satu asumsi betapa pentingnya peran EQ dalam kesuksesan pribadi dan profesional :
a. 90% prestasi kerja ditentukan oleh EQ.
b. Pengetahuan dan teknis hanya berkontribusi 4%.
2.2.3 Pentingnya SQ
Pentingnya SQ ini dapat kita lihat bagaimana SQ bagi pelaksana profesi. SDM sebagai pelaksana dari suatu profesi dengan tingkat kecelakaan spiritual (SQ) yang tinggi adalah pemimpin yang tidak sekedar beragama, tetapi terutama beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Seorang pelaksana profesi yang beriman adalah orang yang percaya bahwa Tuhan itu ada, Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui apa-apa yang diucapkan, diperbuat bahkan isi hati atau niat manusia. Seorang pelaksana profesi dapat membohongi pelaksana-pelaksana profesi yang lain yang ada di lembaga kerjanya ataupun di luar lembaga kerjanya, tetapi tidak dapat membohongi Tuhannya.
Selain dari pada itu SDM sebagai pelaksana suatu profesi yang beriman adalah seorang yang percaya adanya malaikat, yang mencatat segala perbuatan yang baik maupun yang tercela dan tidak dapat diajak kolusi. SDM sebagai pelaksana profesi tahu mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang halal dan mana yang haram, mana yang melanggar hukum dan mana yang sesuai dengan hukum.
SDM sebagai pelaksana profesi harus selalu memegang amanah, konsisten (istiqomah) dan tugas yang diembannya adalah ibadah terhadap Tuhan, oleh karena itu semua sikap, ucapan dan tindakannya selalu mengacu pada nilai-nilai moral dan etika agama, selalu memohon taufiq dan hidayah Allah SWT dalam melaksanakan amanah yang dipercayakan kepadanya. Pemimpin tipe ini dalam menjalankan tugasnya selalu berpijak kepada amar am’ruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah kejahatan). Sebagaimana suatu ungkapan seorang pakar, “no religion without moral, no moral without law”.
Oleh karena itu SDM sebagai pelaksana suatu profesi haruslah yang beragama dalam arti beriman dan bertaqwa, bermoral dalam arti dia ta’at pada hukum. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari SDM yang beragama itu belum tentu beriman dan bertaqwa, sehingga dia sesungguhnya tidak bermoral dan melanggar hukum. Sebagai contoh misalnya, SDM yang bersangkutan menjalankan sholat 5 waktu tetapi masih berbuat korupsi juga; atau ia berpuasa tetapi masih melakukan KKN juga dan lain sebagainya.
2.2.4 Hubungan IQ, EQ, SQ
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwasanya kita tidak hanya memerlukan salah satu dari IQ, EQ, SQ yang baik, namun harus ketiganya bila kita ingin sukses atau berhasil dalam hidup. Para psikolog mengatakan, rasa sukses dan bahagia akan diraih jika seseorang bisa menggabungkan setidaknya tiga kecerdasan, yaitu intelektual, emosional, dan spiritual.
Dalam hal penerapannya dalam kehidupan, IQ, EQ, dan SQ bisa digunakan dalam mengambil keputusan tentang hidup kita. Seperti yang kita alami setiap hari, keputusan yang kita buat, berasal dari proses :
1. merumuskan keputusan,
2. menjalankan keputusan atau eksekusi,
3. menyikapi hasil pelaksanaan keputusan.
Rumusan keputusan itu seyogyanya didasarkan pada fakta yang kita temukan di lapangan realita (apa yang terjadi). Kita bisa menggunakan IQ yang menonjolkan kemampuan logika berpikir untuk menemukan fakta obyektif, akurat, dan untuk memprediksi resiko, melihat konsekuensi dari setiap pilihan keputusan yang ada.
Rencana keputusan yang hendak kita ambil (hasil dari penyaringan logika) juga tidak bisa begitu saja diterapkan, semata-mata demi kepentingan dan keuntungan diri kita sendiri. Bagaimana pun, kita hidup bersama dan dalam proses interaksi yang konstan dengan orang lain. Oleh sebab itu, salah satu kemampuan EQ, yaitu kemampuan memahami (empati) kebutuhan dan perasaan orang lain menjadi faktor penting dalam menimbang dan memutuskan.
Banyak fakta dan dinamika dalam hidup ini, yang harus dipertimbangkan, sehingga kita tidak bisa menggunakan rumusan logika matematis untung rugi. Kita pun sering menjumpai kenyataan, bahwa faktor human touch, turut mempengaruhi penerimaan atau penolakan seseorang terhadap kita (perlakuan kita, ide-ide atau bahkan bantuan yang kita tawarkan pada mereka). Salah satu contoh kongkrit, di Indonesia, budaya “kekeluargaan” sangat kental mendominasi dan mempengaruhi perjanjian bisnis, atau bahkan penyelesaian konflik.
Perlu diakui bahwa IQ, EQ dan SQ adalah perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait (interconnected) di dalam diri kita, sehingga tak mungkin juga kita pisah-pisahkan fungsinya. Berhubungan dengan orang lain tetap membutuhkan otak dan keyakinan sama halnya dengan keyakinan yang tetap membutuhkan otak dan perasaan. Seperti kata Thomas Jefferson atau Anthony Robbins, meskipun keputusan yang dibuat harus berdasarkan pengetahuan dan keyakinan sekuat batu karang, tetapi dalam pelaksanaannya, perlu dijalankan sefleksibel orang berenang.
2.3 Sikap Pendidik dalam Menumbuhkan IQ, EQ dan SQ yang Baik kepada Peserta Didik
Perlu disadari oleh pendidik bahwa tingkat kecerdasan seseorang dapat ditingkatkan. Caranya, antara lain, menyekolahkan dan meningkatkan asupan gizi untuk perkembangan saraf otak.
Upaya meningkatkan intelektual peserta didik di sekolah tidak mungkin dilakukan secara instan. Hal itu harus dilakukan secara stimultan sejak dini, sejak usia prasekolah, dengan menyediakan atau menciptakan lingkungan yang memberi stimulasi intelektual. Sebab, inteligensia anak tidak akan berkembang hanya dengan memperhatikan sudut gizi tanpa memperhatikan sudut lingkungan.
Dari sudut pendidikan, inteligensi didefinisikan sebagai kemampuan mengunakan potensi intelek untuk belajar. Sedangkan hasil belajar merupakan pengetahuan yang dimulai dari pengalaman indra, persepsi, imajinasi, konsentrasi, abstraksi, penilaian, dan penalaran. Proses tersebut menyangkut daya ingat atas bahan yang diperoleh sebelumnya, kemudian dikeluarkan untuk proses lebih lanjut (M.S. Hadisubrata, 1988)
Secara kongkret dapat dikatakan, anak dengan kadar intelek dan inteligensi tinggi (cerdas) adalah anak yang pengamatannya tajam, daya persepsi dan imajinasinya kuat, daya abstraksi dan apresiasinya tinggi, daya penalarannya lurus, serta daya konsentarsi dan daya ingatnya kuat.
Pertanyaannya, seberapa jauh urgensi stimulasi untuk merangsang perkembangan IQ (intelegence quotient), EQ (emotional quotient), dan SQ (spiritual quotient)? Hasil penelitian psikolog Skeels dan Dye (1938), White (1971), dan psikolog lain menyimpulkan hal-hal berikut.
Pertama, tanpa stimulasi dari lingkungan, peserta didik tidak akan dapat mengaktualisasikan potensi inteleknya secara maksimal. Di sini, peserta didik belum mencapai titik IQ, EQ, dan SQ optimal yang seharusnya bisa dicapai.
Kedua, ada kecenderungan para ahli untuk merangsang perkembangan inteligensi secara maksimal dalam dua kategori, nonverbal dan verbal. Yang termasuk nonverbal adalah aktivitas untuk merangsang pengakraban indera seperti mainan dan aktivitas fisik lain sejenis.
Sedangkan yang dimaksud verbal adalah berbicara, menghafal, mengajar bahasa, dan sejenisnya. Bagi peserta didik di kelas rendah (SD, TK, playgroup), dua jenis rangsangan itu merupakan learn climate (iklim belajar) seperti halnya yang terjadi pada peserta didik di kelas menengah (SMP, SMA).
2.3.1 IQ
Dalam mengembangkan IQ (yang menurut para ahli dapat ditingkatkan dengan stimulasi, seperti medengarkan musik Mozart yang berfrekuensi 8 KHz). Sebagi pendidik, tentu kemampuan akademis yang baik diperlukan dalam mengajar. Namun hal ini belum tentu dapat meningkatkan IQ peserta didik, sehingga selain dengan menyadarkan pentingnya asupan gizi yang cukup dan seimbang pada peserta didik, dapat juga meupayakan dengan melatih 7 kemampuan primer dari inteligensi umum, yaitu peserta didik :
1. pemahaman verbal,
2. kefasihan menggunakan kata-kata,
3. kemampuan bilangan,
4. kemampuan ruang,
5. kemampuan mengingat,
6. kecepatan pengamatan, dan
7. kemampuan penalaran.
2.3.2 EQ
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan pendidik untuk membina keterampilan-keterampilan kecerdasan emosi peserta didik adalah sebagai berikut:
1. pendidik dapat membantu peserta didik untuk mengidentifikasi dan memberi nama perasaan-perasaan yang dialaminya, serta menunjukkan cara pengungkapannya yang tepat dan tidak berlebihan,
2. pendidik mengajarkan peserta didik untuk berpikir realistis dan optimis,
3. pendidik mengajarkan peserta didik untuk melihat suatu permasalahan dari sudut pandang yang lain, serta memberikan kesempatan untuk memecahkan masalahnya sendiri,
4. pendidik memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berdiskusi mengenai permasalahan dan perasaan yang dihadapinya,
5. pendidik mengajarkan peserta didik untuk lebih menghargai usaha yang telah dilakukan daripada hasil yang diperoleh dan
6. pendidik menunjukkan teladan dalam pergaulan serta sopan santun yang berlaku di lingkungan sekitar.
2.3.3 SQ
SQ berlandaskan pada kesadaran transcendental, bukan sekedar SQ pada tataran biologi dan psikologi. Bertolak dari pandangan bahwa SQ yang berlandaskan kesadaran transcendental, maka secara teoritis pembentukan SQ yang sejati harus melalui pendidikan agama.
Sehubungan dengan pembentukan SQ ini, Ary Ginanjar Agustian (2001) menyarankan perlunya diupayakan empat langkah pokok, yaitu:
a. Melakukan kejernihan emosi (zero mind process) sebagai prasyarat lahirnya alam pikiran yang jernih dan suci (God-Spot/fitrah), yaitu kembali kepada hati dan pikiran yang bersifat merdeka serta bebas dari belenggu.
b. Membangun mental yang berkaitan dengan kesadaran diri, yang dibangun dari alam pikiran dan emosi secara sistematis berdasarkan rukun iman (prinsip: bintang atau ilahi, malaikat, kepemimpinan, pembelajaran, masa depan, keteraturan).
c. Membentuk ketangguhan pribadi, suatu langkah pengasahan hati yang telah terbentuk berdasarkan rukun islam, yang dimulai dari: (a) penetapan misi, (b) pembentukan karakter secara kontinyu dan intensif, dan (c) pelatihan pengendalian diri. Membentuk ketangguhan sosial, yaitu melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau lingkungan social sebagai suatu perwujudan tanggung jawab social seseorang yang telah memiliki ketangguhan pribadi. Hal ini dilakukan dengan dua langkah, yaitu (a) sinergi, dan (b) aplikasi total.
d. Pemahaman tentang al-asmaul husna. Dengan al-asmaul husna yang merupakan junci dasar rukuk imam dan rukun Islam, seseorang dapat merasakan dan mendeteksi satu per satu dorongan suara hati terdalam dengan jelas; juga perasaan serta suara hati orang lain yang pada hakekatnya bersuber pada suara hati Allah yang Maha Mulia dan Maha Benar.
Sehingga dalam mengembangkan kecerdasan spiritual adalah dengan menanamkan nilai-nilai kehidupan sejak dini yaitu kesadaran tinggi akan makna dan nilai. Makna dan nilai adalah dua hal yang berkaitan. Membantu peserta didik dalam menyeleksi, menyarikan, dan mengintegrasikan pengalaman-pengalaman yang akan membentuk pribadi yang cerdas secara spiritual.
Hal tersebut dapat dilakukan bila terjadi kedekatan yang baik antara peserta didik dan pendidik, untuk itu peserta didik diharapkan dapat menjalin kerjasama yang baik antara pendidik dan peserta didik. Sehingga mengajar perlu emosional dan spiritual yang baik selain intelektual.
Menurut Danni Ronnie ada enam belas pilar agar guru dapat mengajar dengan hati. Keenam belas pilar tersebut menekankan pada sikap dan perilaku pendidik untuk mengembangkan potensi peserta didik. Enam belas pilar pembentukan karakter yang harus dimiliki seorang guru, antara lain:
1. kasih sayang,
2. penghargaan,
3. pemberian ruang untuk mengembangkan diri,
4. kepercayaan,
5. kerjasama,
6. saling berbagi,
7. saling memotivasi,
8. saling mendengarkan,
9. saling berinteraksi secara positif,
10. saling menanamkan nilai-nilai moral,
11. saling mengingatkan dengan ketulusan hati,
12. saling menularkan antusiasme,
13. saling menggali potensi diri,
14. saling mengajari dengan kerendahan hati,
15. saling menginsiprasi,
16. saling menghormati perbedaan.
Jika para pendidik menyadari dan memiliki menerapkan 16 pilar pembangunan karakter tersebut jelas akan memberikan sumbangsih yang luar biasa kepada masyarakat dan negaranya.
Yang paling perlu diingat dalam rangka stimulasi kecerdasan, emosi, dan spiritual adalah peran orang tua dan guru sama-sama penting. Fungsi sekolah dan lingkungan keluarga, dan tempat bermain sama vitalnya. Semua harus saling mendukung, tidak boleh ada satu aspek pun yang lemah. Sehingga perlu sekali merangsang inteligensi peserta didik sedini mungkin, sejak usia pembentukan, saat masih mudah merangsang perkembangan kecerdasan, emosi, dan fisik. Kualitas perkembangan yang diperoleh pada masa balita itulah yang nanti menjadi dasar pola perkembangan inteligensi selanjutnya. Sehingga, tidak aneh bila tingkat kecerdasan, stabilitas emosi, dan kepekaan sosial peserta didik di tingkat SMP/SMA sangat variatif meski mereka belajar di satuan pendidikan dengan fasilitas sama.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Sedangkan peserta didik berstatus sebagai subjek didik.
Setiap manusia memiliki kecerdasan yang diartikan sebagai potensi dasar seseorang untuk berpikir, menganalisis dan mengelola tingkah lakunya di dalam lingkungan dan potensi itu dapat diukur. Kecerdasan terdiri dari IQ, EQ dan SQ. IQ adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. EQ adalah kemampuan untuk menyikapi pengetahuan-pengetahuan emosional dalam bentuk menerima, memeahami dan mengelola. SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai.
IQ, EQ dan SQ adalah perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait (interconnected) di dalam diri kita, sehingga tak mungkin juga kita pisah-pisahkan fungsinya.
Pendidik memiliki peranan penting dalam menumbuhkan keseimbangan IQ, EQ dan SQ. Hal ini hanya dapat dilakukan bila terjadi kedekatan yang baik antara peserta didik dan pendidik, untuk itu peserta didik diharapkan dapat menjalin kerjasama yang baik antara pendidik dan peserta didik.
Yang paling perlu diingat dalam rangka stimulasi kecerdasan, emosi, dan spiritual adalah peran orang tua dan guru sama-sama penting. Fungsi sekolah dan lingkungan keluarga, dan tempat bermain sama vitalnya. Semua harus saling mendukung, tidak boleh ada satu aspek pun yang lemah.
3.2 Saran
Para pendidik, calon pendidik, dan pihak-pihak yang terkait hendaknya mulai memahami, menerapkan, dan mengembangkan sikap-sikap serta perilaku dalam dunia pendidikan melalui teladan baik dalam pikiran, ucapan, dan tindakan.
http://andika-hadi.blogspot.com/2009/05/ramalan-percaya-atau-tidak.html

HAKEKAT DAN MISI ISLAM

HAKEKAT DAN MISI ISLAM
Oleh: Drs. H. M. Muqaddas, Lc, MA

A. Pengertian Tentang Hakekat Islam:
1. Agama adalah apa yang disyari’atkan Allah dengan perantara Nabi-nabi-Nya berupa perntah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia didunia dan akherat (HPT hal 276).
2. Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ialah apa yang diturunkan Allah di dalam Qur’an yang disebut dalam sunnah shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta kebaikan-kebaikan manusia di dunia dan akherat (HPT 276).
3. Secara umum Islam adalah agama Allah (dinullah) yang diwahyukan kepada Rosul-Nya sejak nabi Adam AS sampai kepada nabi Muhammad Saw (3:19, 83-85, 2:132) secara khusus Islam adalah nama diri dari agama yang dibawa nabi Muhammad SAW yang merupakan mata rantai terkahir dari rantai dinullah. Atau dengan kata lain Islam secara khusus adalah dinullah yang telah disempurnakan dan dinyatakan sebagai agama yang diridhoi-Nya untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman nanti (5:3).
4. Beberapa Ciri Khusus Agama Islam (Khashaisul Islam)
a. Agama Allah bersumber dari Allah SWT baik berupa wahyu langsung (Al-Qur’an) maupun tidak langsung (sunah Nabawiyah) (39:2, 32:2)
b. Mencakup seluruh aspek kehidupan (asy syumul)
c. Berlaku untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman (al-umum) (ushulud Dakwah (43:65)
d. Sesuai dengan fitrah manusia (30:30)
e. Menempatkan akal manusia pada tempat yang sebaik-baiknya (7:179, 31:20) (pendidikan Agama Islam 1: Aqidah hal 9)
f. Menjadi rahmat alam semesta (21:107)
g. Berorientasi ke masa depan (akherat) tanpa melupakan masa kini (dunia) (28:77)
h. Menjajanjikan al-jaza’ (surga bagi yang beriman dan neraka bagi yang kufur) (98:6- 8)

B. Memandang Islam Secara Menyeluruh:
1. Seorang muslim harus memahami Islam secara utuh dan menyuluruh, tidak secara parsial (juz 1) karena pemahaman yang parsial menyebabkan Islam tidak fungsional secara kaffah dalam kehidupannya.
2. Islam adalah suatu sistem yang menyeluruh (Nizham syamil) mencakup seluruh aspek kehidupan; rohaniah dan jasmaniah, diniawiyah dan ukhrowiyah.
3. Secara garis besar ajaran Islam mencakup aspek:
a. Aqidah: aspek keyakinan tentang Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para rosul, hari Akhir dan Takdir.
b. Ibadah: segala cara dan upacara pengabdian yang bersifat ritual yang telah diperintahkan dan diatur cara-cara pelaksanaanya dalam alqur’an dan sunnah rosul seperti sholat, puasa, zakat, haji, dlsb.
c. Akhlaq: Nilai dan perilaku baik dan buruk seperti sabar, syukur, tawakkal, birrul walidain, syaja’ah dsb (akhlak al-mahmudah) dan sombong, dengki, takabbur, riya’, uququl walidain, dlsb (akhlaq Al mazmumah).
d. Mu’amalah: aspek kemasyarakatan yang mengatur pergaulan hidup manusia diatas bumi baik tentang harta benda, perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antar negara dan lain sebagainya.
C. Mengamalkan Islam secra Menyeluruh
1. Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk masuk Islam secara kaffah (2:20 8)
2. Dari segi waktu seseorang harus menjadi muslim 24 jam sehari semalam. Dengan arti kata dia harus mengislamkan seluruh kehidupan sampai akhir hayat (3-102)
3. Dari segi ruang lingkup dia harus mengislamakan seluruh aspek kehidupannya seperti aspek ekonomi, politik, budaya, seni, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.
5. Atau dengan bahasa lain seseorang harus menjadi muslim dalam akidah, ibadah, akhlaq dan mua’malah
(Disampaikan saat PNM3 di Kaliurang)

http://pranita88.blogspot.com/2009_01_01_archive.html

kehadiran TIK dipesantren

Kehadiran TIK di Pesantren
Posted on 20 April 2008 by pakarfisika

A. Muqoddimah


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Segala puji hanya milik Allah SWT, yang telah mengajarkan kepada manusia tentang adanya periode-periode tertentu yang selalu berulang, terstruktur dan sistematis, misalnya, orbit Bulan, Bumi, planet-planet, lintasan meteorit dan bintang-bintang, Galaksi-galaksi, Cluster-cluster, DNA, kromosom, sifat atom, lapisan bumi dan atmosfer, dan elemen kimia dengan segala karakteristiknya.

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا ((٤٤

Artinya: Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Israa-17: 44)

Bertasbih dalam ayat ini memiliki makna yang universal. Alam semesta yang bertasbih adalah perilaku universal yang tersentral pada satu tujuan yakni Allah SWT. Sejak dari mikrokosmos hingga ke makrokosmos, ternyata seluruhnya bertasbih. Tidak ada satu materipun di alam semesta ini yang tidak bertasbih. Hanya saja manusia tidak mengerti tasbih mereka.

Tasbih ( تسبيح), berasal dari kata سبح yang arti sederhananya adalah berenang. Alam semesta yang berenang adalah alam semesta yang bergerak, berputar, berotasi, berevolusi, berosilasi. Gerakan osilasi alam semesta akhirnya dapat divisualisasikan dengan persamaan matematis yang kita sebut sebagai gelombang-Gelombang Transversal. Gelombang Transversal merupakan jenis Gelombang Elektromagnetik, yang hakekatnya merupakan perulشngan sebuah lingkaran, dengan jumlah sudut 360o.

TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) yang menjadi primadona di era digital ini adalah bentuk fisik dari gelombang elektromagnetik yang telah dibingkai dengan ornamen penuh artistik. Wujudnya dapat berupa Software atau program dan hardware atau perangkat penopangnya.

Dalam bahasa Pesantren, TIK bisa disebut sebagai Teknologi=Media, Informasi=Dakwah dan Komunikasi=Silaturrahmi. Dengan sebutan semacam ini, maka kehadiran TIK di lingkungan Pesantren semestinya merupakan sebuah barokah/maslahah ketimbang mafsadah/madlorot. Namun ini semua kembali kepada tabaayun dari komunitas Pesanren itu sendiri.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ ()

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat-49: 6)

B. Sekilas Sejarah TIK

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan terjemahan dari Information and Communication Technology (ICT). TIK yang dikembangkan manusia, pada awalnya berfungsi sebagai sistem untuk pengenalan bentuk-bentuk yang mereka kenal, mereka menggambarkan informasi yang mereka dapatkan pada dinding-dinding gua. Kemampuan mereka dalam berbahasa pada bentuk suara dengusan dan isyarat tangan adalah bentuk awal komunikasi mereka.

Perkembangan selanjutnya adalah diciptakan dan digunakannya alat-alat yang menghasilkan bunyi dan isyarat, seperti gendang, terompet yang terbuat dari tanduk binatang, isyarat asap sebagai alat pemberi peringatan terhadap bahaya.

Tahun 3000 SM, untuk yang pertama kali tulisan digunakan oleh bangsa Sumeria dengan menggunakan simbol-simbol yang dibentuk dari pictograf sebagai huruf. Tahun 2900 SM, bangsa Mesir Kuno menggunaka huruf Hierogliph yang lebih maju dibandingkan dengan tulisan bangsa Sumeria.

Tahun 500 SM, serat Papyrus digunakan sebagai kertas di Mesir sehingga menjadi media informasi yang lebih kuat dan fleksibel dibandingkan dengan lempengan tanah liat. Kertas baru diketemukan tahun 105 M oleh bangsa Cina. Kertas yang ditemukan oleh bangsa Cina pada masa ini adalah kertas yang kita kenal sekarang.

Tahun 1455, mesin Cetak dikembangkan untuk yang pertama kalinya oleh Johann Gutenberg. Kemudian tahun 1830, Augusta Lady Byron menulis program komputer yang pertama di dunia berkerjasama dengan Charles Babbage menggunakan mesin Analytical-nya. Mesin ini didesain mampu memasukan data, mengolah data dan menghasilkan bentuk keluaran dalam sebuah kartu. Mesin ini dikenal sebagai bentuk komputer digital yang pertama walaupun cara kerjanya lebih bersifat mekanis daripada bersifat digital, 94 tahun sebelum komputer digital pertama ENIAC I dibentuk.

Tahun 1837, Samuel Morse mengembangkan Telegraph dan bahasa kode Morse bersama Sir William Cook dan Sir Charles Wheatstone yang dikirim secara elektronik antara 2 tempat yang berjauhan melalui kabel yang menghubungkan kedua tempat tersebut. Pengiriman dan Penerimaan Informasi ini mampu dikirim dan diterima pada saat yang hampir bersamaan waktunya. Penemuan ini memungkinkan informasi dapat diterima dan dipergunakan secara luas oleh masyarakat tanpa dirintangi oleh jarak dan waktu.

Tahun 1861, gambar bergerak yang peroyeksikan ke dalam sebuah layar pertama kali di gunakan sebagai cikal bakal film sekarang. Selanjutnya tahun 1877, Alexander Graham Bell menciptakan dan mengembangkan Telepon yang dipergunakan pertama kali secara umum dan Fotografi dengan kecepatan tinggi ditemukan oleh Edweard Maybridge.

Tahun 1899, dipergunakan sistem penyimpanan dalam Tape (pita) Magnetis yang pertama yang disusul tahun 1923 dimana Zvorkyn menciptakan tabung TV yang pertama. Komputer digital pertama didunia ENIAC I dikembangkan pada t ahun 1946. Sistem jaringan antar lokasi atau LAN yang pertama dengan menghubungkan 4 nodes (titik), dan berkekuatan 50 kbps mulai dibentuk pada 1969.

Akhirnya muncul penemuan media surat-menyurat digital pada tahun 1972, dimana Ray Tomlinson menciptakan program e-mail yang pertama. Dan pada tahun 1973 – 1990 istilah INTERNET diperkenalkan kepada publik.

C. Sekilas Pesantren

Pesantren, tidak berlebihan bila menjadi salah satu kebanggaan bangsa Indonesia. Bukan hanya karena eksistensinya yang indigeneous-khas Indonesia dan tidak dijumpai di negara lain, tetapi juga karena peran dan jasanya yang besar dalam mencerdaskan umat, menyebarkan dakwah islamiyah, melahirkan para pejuang kemerdekaan dan tokoh nasional, sumber bagi spirit kemerdekaan dan perlawanan terhadap penjajah, pusat peradaban islami dan agen perubahan sosial keagamaan bagi masyarakat serta tetap menjadi benteng pertahanan moral bangsa.

Misi yang diemban pesantren ini tentu lebih luas dibanding kesimpulan Martin Van Bruinessen, yang hanya memfokuskan tiga peran sentral pesantren dalam aspek intelektualitas akademis dan pemeliharaan kultur – tradisi semata, yaitu : transmission of islamic knowledge (pengkajian dan penyampaian ilmu-ilmu keislaman), maintenance of islamic tradition (pemeliharaan tradisi keislaman) dan reproduction of ulama (memproduksi ulama).

Menurut catatan sejarah, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang diwariskan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim sekitar abad 16-17 M, seorang guru “walisongo” yang menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa, kemudian berkembang pesat dan lebih dikenal kegiatannya kira-kira sejak tahun 1853 dengan jumlah santri sekitar 16.556 dan tersebar pada 13 kabupaten di pulau Jawa. Saat ini menurut data Departemen Agama, 14.656 pesantren tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah santri melampaui 3.369.103 (data 2005).

Dari 14.656 pesantren, secara garis besar memiliki tiga corak tipologi. Pertama, pesantren tradisional ada 9.105 pesantren. Kedua, pesantren yang memiliki corak modern mencapai 1.172 pesantren. Ketiga, pesantren yang memiliki perpaduan antara tradisional dan modern mencapai 4.379 pesantren.

Dari data yang ada, ternyata jumlah pesantren yang bercorak tradisional masih cukup dominan mecaapai 9.105 pesantren atau 62%. Pesantren yangbercorak tradisional pada umumnya adalah pesantren yang telah lama eksis dan hingga kini masih tetap mempertahankan corak tradisionalnya. Sedang pesantren yang bercorak modern pada umumnya adalah pesantren yang lahir dan berkembang belakangan ketika memasuki era pembangunan. Pergerakan pesantren modern semakin banyak hingga dalam waktu yang relatif singkat telah mencapai 1.172 pesantren atau 8% dari keseluruhan pesantren di negeri ini.

Sistem pendidikan pesantren diakui banyak kalangan telah menjadi alternatif di saat sistem pendidikan sekolah dinilai memiliki banyak kelemahan. Oleh karena itu ada trend baru pesantren dengan model kombinasi atau terpadu antara sekolah dan boarding atau asrama. Jumlah pesantren dengan model baru kini telah berkembang pesat hingga mencapai 4.379 pesantren atau 30% dari jumlah pesantren yang ada. Pesantren yang lahir di era sekarang adalah pesantren dengan corak atau kombinasi terpadu antara sistem pesantren (boarding) dengan sistem sekolah atau madrasah.

D. Tantangan Global Pesantren

tantangan_pesantren_pakarfisikaMenghadapi tantangan yang semakin kompleks di lingkungan masyarakat, maka pesantren harus berani tampil dan mengembangkan dirinya sebagai pusat pendidikan unggulan. Pesantren tidak hanya mendidik santri agar memiliki ketangguhan jiwa, jalan hidup yang lurus, budi pekerti yang mulia, tetapi juga dibekali dengan berbagai disiplin ilmu.

Untuk mencapai tujuan di atas, para santri harus dibekali nilai-nilai keislaman yang terintegrasi dengan ilmu-ilmu modern. Pembekalan ilmu-ilmu modern dapat ditempuh dengan mempelajari tradisi ilmu pengetahuan agama dan penggalian dari teknologi informasi dan komunikasi (TIK) berupa ketrampilan umum dengan menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber inspirasi dan rujukan awal. Karena, tradisi keilmuan dan kebudayaan Islam sangat kaya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sayyid Kuthb; “Yang benar, bahwasannya agama (Islam) bukan mengganti ilmu dan kebudayaan, bahkan bukan pula musuh ilmu dan kebudayaan. Agama Islam merupakan bingkai ilmu dan kebudayaan poros/sumbu untuk ilmu kebudayaan, begitu pula sebagai metode ilmu dan kebudayaan dan membatasi bingkai dan poros yang mampu memberi hukum (peraturan) bagi segala masalah kehidupan”.

Mencermati karakteristik umat Islam serta kecenderungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pada masa kini dan mendatang, disertai dengan perkembangan kebudayaan, maka pilihan format pesantren harus lebih menekankan terhadap sains dan teknologi. Pesantren sesungguhnya menyimpan kekuatan yang sangat luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup dan dapat memberi informasi yang berharga dalam mempersiapkan kebutuhan yang inti untuk menghadapi masa depan. Oleh sebab itu pesantren harus mampu merespon dan tanggap atas semua itu.

Kiranya perlu disadari bersama, bahwa di era global ini, masyarakat pesantren tidak hanya dituntut piawai dalam bidang ilmu agama. Mensitir pendapat Abdul Halim Fathani ”Agama toh hanya difungsikan “ tak lebih“ sebagai benteng moral. Agama bukan alat untuk merebut kemenangan dalam dunia yang semakin kompetitif ini”. Masa kejayaan agama, kini telah lewat. Karenanya, untuk menghadapi zaman yang tingkat kompetitifnya semakin “menjadi” ini, dan untuk menyambut kembalikejayaan agama-Islam, bukan benteng moral dalam arti sempit saja yang perlu dipentingkan, melainkan penanaman skill dan upaya-upaya pengembangan dalam sektor modern; seperti teknologi informasi dan komunikasi (TIK), teknologi tepat guna, bahkan ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya. Hal-hal inilah yang akan turut membantu masyarakat dalam menjawab tuntutan zaman modern ini. Hal inilah yang disebut dengan dakwah dengan kiprah nyata (da’wah bi al-hal) yang harus dimainkan Pesantren.

Di sinilah peran pesantren perlu ditingkatkan. Tuntutan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) tidak mungkin dihindari. Salah satu langkah yang bijak adalah mempersiapkan pesantren tidak “ketinggalan kereta” agar tidak kalah dalam persaingan. Menyikapi hal ini, paling tidak tiga hal yang mesti digarap oleh pesantren agar tetap sesuai dengan jati dirinya.

Pertama, Pesantren sebagai lembaga pendidikan pengkaderan ulama. Fungsi ini tetap harus melekat pada pesantren, karena pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang melahirkan ulama. Namun demikian, tuntutan TIK mengharuskan ulama memiliki kemampuan lebih, kapasitas intelektual yang memadai, wawasan, akses pengetahuan dan informasi yang cukup serta responsif terhadap perkembangan dan perubahan.

Kedua, Pesantren sebagai lembaga pengembangan ilmu pengetahuan khusus agama Islam. Pada tatanan ini, pesantren masih dianggap lemah dalam penguasaan ilmu dan metodologi khususnya TIK. Pesantren hanya mengajarkan ilmu agama dalam arti transfer of knowledge. Karena pesantren harus jelas memiliki potensi sebagai “lahan” pengembangan ilmu agama.

Ketiga, Pesantren harus mampu menempatkan dirinya sebagai transformasi, motivator, dan inovator. Kehadiran pesantren dewasa ini telah memainkan perannya sebagai fungsi itu meskipun boleh dikata dalam taraf yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Sebagai salah satu komponen masyarakat, pesantren memiliki kekuatan dan “daya tawar” untuk memanfaatkan kehadiran TIK guna melakukan perubahan-perubahan yang berarti.

E. Sikap Pesantren terhadap TIK

sikap_pesantren_pakarfisikaPendidikan pesantren tidak harus mengesampingkan pendidikan teknologi (TIK). Utamanya dalam menumbuhkan Islamic technological-attitude (sikap benar berteknologi secara Islami) dan technological-quotient (kecerdasan berteknologi) sehingga santri memiliki motivasi, inisiatif dan kreativitas untuk melek teknologi. Suatu saat mereka diharapkan mampu merebut teknologi, dan mengembangkan teknologi dengan nilai-nilai kepesantrenan yang kental.

Karena kehadiran TIK tidak bisa lagi dihindari oleh pesantren, maka yang terpenting bukanlah bagaimana mengadopsi TIK yang berkembang pesat di dunia global, tetapi harus disertai kepandaian mengadapsi “menyantrikan TIK” di dunia pesantren, sehingga bisa diambil manfaat dan mashlahat sebanyak mungkin dan menghindari madlaratnya sebisa mungkin.

TIK bisa dimanfaatkan untuk kepentingan (peningkatan mutu pendidikan dan pengajaran) pondok, meluaskan wawasan santri, tetapi jangan sampai mengorbankan pondok, terutama nilai dan falsafah hidupnya serta orientasi pendidikannya yang bersifat keumatan (kemasyarakatan) dan totalitas ibadah dalam segala gerak aktivitasnya. Juga jangan sampai merubah ciri khasnya yang menekankan pada aktifitas tafaqquh fiddin (kajian mendalam tentang keislaman), mengerosi nuansa spiritual (ruhiyah) di pesantren. Jangan sampai merubah Jiwa dan filsafat hidup pesantren. Dan jangan sampai merubah kultur pesantren, kehidupan yang dinamis namun tetap harmonis dan bersahaja dengan dijiwai keikhlasan prima dalam bingkai moralitas tinggi.

Ada beberapa prinsip yang harus dipegang pesantren dalam menerapkan dan mengembangkan TIK diantaranya adalah:

1. Protektif,memprioritaskan kemashalatan Pondok diatas lainnya, artinya keberadaan TIK di pesantren selalu dikontrol dalam koridor positif dan konstruktif. Kehadiran TIK di lingkungan pesantren justru untuk meneguhkan eksistensi visi dan misi pesantren dalam pendidikan dan pembinaan masyarakat. Dalam hal ini pesantren juga mempunyai prinsip bahwa “menghindari kerusakan itu lebih didahulukan daripada mengambil suatu kemanfaatan”. Akses TV kepada guru dan santri supaya benar-benar dibatasi, karena isinya yang lebih dominan untuk tujuan komersiil dari pada informasi dan edukasi, para santri tidak perlu memiliki sendiri alat-alat elektronika, semacam radio, tape, HP karena sangat mungkin akan mencuri waktu produktif mereka, atau mungkin akan mereka salahgunakan.

2. Selektif dan adaptif, selanjutnya para guru dan santri juga harus selalu selektif untuk memilah dan memilih yang terbaik dan bermanfaat : (orang-orang yang menyimak setiap ucapan dan kemudian hanya mengikuti yang terbaik), dengan prinsip ini kita diminta mempunyai kemampuan adaptif yang tinggi, daya kritis dan selektif yang kuat dalam menerima dan memanfaatkan kemajauan TIK. Hal ini perlu digarisbawahi karena ibarat pedang bermata dua, revolusi TIK menawarkan kepada kita yang baik dan manfaat maupun yang buruk dan madharat. Tanpa kemampuan selektifitas tinggi dikhawatirkan kehadiran TIK di pesantren akan akan menjadi jendela pencemaran lingkungan pesantren yang islamy dan tarbawy, menjadi musibah dan bukan berkah, menjadi formalin dan bukan vitamin.

3. Prioritas dan proporsional, dalam pemanfaatan TIK di dunia pesantren perlu diterapkan fiqih prioritas dan proporsional. Dengan demikian tidak mesti semua program TIK harus dikenalkan kepada para santri, cukup yang memang aplikatif dan fungsional untuk kepentingan pendidikan mereka, dan tidak mesti semua santri tanpa diklasifikasi dilibatkan dalam pemanfaatan dan pengembangan TIK, semua harus proporsional dan sesuai kebutuhan.

4. Eksploitasi dan improvisasi, dengan penguasaan yang bagus terhadap watak TIK, maka pesantren bisa mendapatkan nilai manfaat yang tinggi untuk kemajuan dan peningkatan kualitas pendidikan dan pengajarannya. Bahkan tidak mustahil bila ada yang menekuni dengan baik, pesantren mampu memberikan andil dalam pengembangan TIK yang lebih berwajah islami dan ma’hadi (nyantri).

Selanjutnya beberapa langkah berikut ini bisa ditempuh untuk menghantarkan pesantren menikmati “berkah” kemajuan TIK :

1. Pembekalan yang cukup bagi calon user, baik dari kalangan asatidz (guru) maupun santri. Pembekalan ini bukan hanya meliputi teknik operasional TIK an sich, tetapi yang lebih penting adalah pembekalan kesadaran dan tanggungjawab pribadi dan keagamaan agar nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan senantiasa menjadi landasan dalam pemanfatan dan pengembangan TIK.

2. Perumusan tujuan dan manfaat yang dijadikan sasaran untuk dicapai dengan pemanfatan TIK, dengan demikian para user tidak akan kehilangan arah dan kendali, menghabiskan waktunya terbuang sia-sia, sementara kesibukan dan tugas lainnya masih sangat banyak yang terbengkalai. Tanpa tujuan dan target yang jelas, para user bisa terperosok kedalam kesia-siaan bahkan kemakshiatan TIK yang berakibat pada pencemaran hati, fikiran dan akhlak warga pondok.

Di antara program TIK yang bisa diaplikasikan di pesantren adalah :
a. Database santri dan pegawai untuk efektivitas dan efisiensi
b. Digitalisasi sistem informasi dan komunikasi
c. Sistem laporan dan dukomentasi
d. Sistem kontrol dan evaluasi
e. peningkatan kualitas penguasaan bahasa
f. Software pembelajaran dan laboratorium
g. Sistem katalog perpustakaan (digital library)
h. Eksplorasi berbagai pengetahuan ilmu dan teknologi serta seni (piteks) via internet
i. dll

3. Perumusan sistem yang benar-benar terkontrol dan sentralistik, supaya kehadiran TIK benar-benar fungsional, tepat sasaran dan terhindar dari dampak negatif yang merusak tata nilai pesantren. Di antara madlarat yang harus diantisipasi dengan kehadiran TIK di pesantren adalah :

* merasuknya budaya hedonis, permisif, materialis yang akan mencemari pola fikir, kejernihan hati dan moralitas santri
* tersitanya waktu untuk hal-hal yang sia-sia dan menelantarkan aktivitas penting di pesantren
* ketergantungan pada produsen TIK (dunia luar), dengan demikian akan mengurangi kemandirian pesantren.
* Terkurasnya dana pesantren untuk fasilitas TIK, sementara masih banyak kebutuhan yang lebih penting terabaikan.
* Bergesernya visi, misi, orientasi dan kultur pesantren, inilah musibah paling besar bila tidak diwaspadai.

4. Wal-akhir adalah penyiapan SDM yang bisa mengamankan dan mengendalikan serta memproduk TIK di pesantren, sehingga warga pesantren bukan hanya sebagai konsumen tetapi juga produsen khususnya untuk kepentingan dunia pesantren sendiri dan ummat Islam umumnya.

prinsip_pesantren_pakarfisikaPrinsip Pesantren adalah “al-muhaafdlotu ‘alaa al-qodiimi ash-sholih wa al-akhdlu bi al-jadiid al-ashlah“(Menjaga yang tradisi lama yang shaleh dan mengambil model baru yang lebih shaleh)=Tetap istiqomah dan komitment-konsisten dengan nilai-nilai ruhiyah, namun terbuka dan bervisi PITEKS (Pengetahuan Ilmu dan Teknologi serta Seni)-ke depan.

Wa Allahu alamu...[]

Maroji’:

* Ahmad Suharto, Revitalisasi Pesantren Di Tengah Arus Modernisasi, (Ponorogo: PDM Gontor, 2008)
* Dirjend Pendidikan Islam Depag RI, Direktori Pesantren, (Jakarta:Depag RI, 2007)
* http://www.penulislepas.com/v2/?p=510
* http://ti.apjii.or.id/sejarah/index.html

alamate: http://pakarfisika.wordpress.com/2008/04/20/kehadiran-tik-di-pesantren/

Strategi Pembelajaran Inquiry


Penerapan strategi pembelajaran inquiry sesuai dengan teori konstruktivisme. Teori ini meyakinkan guru bahwa proses belajar merefleksikan pengalaman siswa. Dalam proses belajar, siswa membangun pemahaman dirinya sendiri. Tiap siswa menghasilkan sendiri “aturan” dan “model mental,” yang digunakannya untuk membangun pengalaman dan memperoleh pengetahuan.

Belajar, karenanya, merupakan proses penyesuaian model mental siswa dalam menyusun dan mengakomodasi pengalaman baru. Belajar merupakan proses interaksi sosial (Wikipedia: 2010)

Pengetahuan siswa dibangun dengan informasi yang diperoleh secara alami. Proses belajar siswa merpakan bagian dari pengembangan pengalaman melalui pertemuan mereka dengan guru dan rekan-rekan mereka, dan mengkaji apa yang telah mereka pelajari dari sumber belajar yang terpercaya. Karena itu pula, ilmu pengetahuan harus dibangun secara bertahap dan sedikit demi sedikit.

Berdasarkan konsep itu, maka dalam menerapkan strategi pembelajaran inquiry guru harus melibatkan siswa untuk melakukan penyelidikan, penelitian, atau investigasi yang dapat membangun pemahaman mereka sendiri. Siswa melakukan langkah kegiatan belajar aktif dan menerapkan keterampilan berpikir kritis yang dipadukan dengan metode ilmiah.

Sahabat Ku